Di alam yang api ini, seekor kupu-kupu patah sayapnya, minta tolong ia kepadaku, atas nama kasih lembut bertutur. Aku berpuasa, memunguti rahasia. Aku berpuasa, mengobati lukanya ....
MANTIKEI sama sekali tak bisa beranjak dari tempat duduknya kala itu. Jantungnya seolah berhenti berdenyut. Tubuhnya mati rasa. Apakah hantu gunung yang melontarkan mayat Harati ke rumah ini? Sekejap lelaki itu merasa sedang bermimpi, tetapi sadar kalau tadi pagi ia telah mandi dan mencecap pahitnya kopi tubruk.
Sejatinya, Mantikei adalah seorang lelaki yang punya keberanian selayak naga, tapi melihat kilat amarah di mata Harati dan rajah baru di tubuhnya, ia langsung mengkerut buta. Mantikei tentu saja masih ingat, beberapa tahun lampau, saat senja kuning, dua mata sumpit beracun ia lesatkan tepat di kepala dan dada Harati, lalu tak lupa membuang jasad Bujang Pemberani itu di jurang yang nganga. Musykil dipercaya kalau ia abai memastikan bahwa Harati sudahlah mati.
"Dasar bajingan kau! Di mana Danum?" Dengan logat Dayak-nya, Harati berteriak nyaring dari serambi rumah, berdiri dengan mandau tanpa sarung yang terhunus, teracung ke depan seakan hendak mengoyak dada Mantikei. Teriakan lelaki itu sungguhlah bergema, hingga bingarnya memenuhi segenap ruangan. Sementara angin bukit mengembuskan hawa yang panas menyengat, merasuk melalui pintu rumah Mantikei yang terbuka.
"Danum ti-tidak bersamaku, Harati. Dia sudah kawin dengan orang lain!" jawab Mantikei, yang tanpa sadar mundur beberapa jengkal. Tubuhnya gemetar. Mandau di tangan Harati sanggup memotong bambu besar dengan sekali tebas dan Mantikei terbayang andai kepalanya yang menjadi sasaran.