GADIS itu adalah korban kesekian dari cinta yang rahasia; cinta yang katanya sanggup berbagi; pun cinta yang berlandaskan nafsu semata.
Malam yang panas itu terjadi, ketika dengan rela ia menyerahkan segalanya, menjadi kecanduan, lalu menanggung bala.
“Oi, Sundal, siapa gerangan yang telah menghamilimu?” tanya ayahnya dengan mata berkilat marah, setelah gadis itu akhirnya mengaku telah mengandung.
Ia tak menjawab, hanya menangis.
“Sungguh celaka, Nara!” kata ibunya, yang ikut duduk di serambi rumah sambil berurai air mata.
Ia semakin tersedu-sedu.
“Katakan saja, siapa? Biar hukum adat yang berlaku!” Ayahnya bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata serupa bara.
Namun, gadis itu tetap bungkam. Ia dibebani rasa bersalah dan keputusasaan. Ia sangat mencintai sang lelaki dan tak ingin membuatnya celaka.
“Jujurlah, Nara,” bujuk ibunya dengan suara lembut, sambil memeluk.
“Jangan anggap kami orang tuamu jika kau tak mengaku!” timpal sang ayah, menatap istrinya dan menggeleng sebagai bentuk protes terhadap kelembutan istrinya.
“Bunuh saja saya. Saya hanya membawa aib. Saya membuat malu!” seru gadis itu, merasa sudah menjadi putri satu-satunya yang sama sekali tiada guna dan bodoh.
Jawabannya membuat sang ayah semakin murka. Dengan beberapa pukulan, gadis itu diseret masuk ke lumbung padi, lalu pintunya dirantai dari luar.
“Jangan harap bisa keluar kalau tidak bicara jujur, Nara! Besok, aku akan melapor kepada Tetua,” kata ayahnya, sebelum pergi meninggalkan lumbung. Air mata lelaki tua itu pun tak lagi terbendung.
“Sialan! Siapa gerangan lelaki yang berani menghamili anak bawin¹ kita?” rutuknya lagi sambil menggamit lengan sang istri yang hanya menjawab dengan gelengan kepala. Mereka kemudian masuk ke rumah dengan perasaan kecewa. Bingung dan malu pada kenyataan yang ada, sudahlah tentu.
Sementara, ia yang merasa hancur terus saja terisak hingga malam mulai datang. Angin bukit berembus kencang menerobos lubang-lubang di lumbung itu, membawa dingin untuknya yang tak jua makan sedari siang. Hingga satu tendangan kecil dan berulang dari dalam perutnya membuat gadis itu tersentak sesaat.
“Kau tak bersalah, sayalah yang salah, Nak! Kau harus tetap hidup. Iya, tendanglah perut Ibu, lebih kuat … lebih kuat!” Gadis itu tiba-tiba tersenyum dalam tangisnya, sungguh ia merasa gila.
Lalu, mata sendunya sepintas tertuju pada atap lumbung yang terbuat dari ilalang. “Saya harus keluar dari sini,” bisiknya, ragu-ragu.