Mantra Kuning

Rie Arshaka
Chapter #3

Remaong dan Lelaki Pemburu

2



MATAHARI tenggelam tepat di celah gunung. Bias kuning yang sempat mewarnai gunung itu berganti dengan pekat tidak lama kemudian. Di kejauhan, ranting-ranting pohon melambai-lambai, seolah sedang memanggil orang untuk melihatnya dari dekat.

“Sesungguhnya, mendiang Catok kerap menjelma menjadi salah satu Remaong, harimau yang selalu menjaga kawasan hutan. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh sebagian besar penduduk di pegunungan ini. Kami menyebutnya Kek Tung!”

Lelaki tua itu duduk di tengah lingkaran anak-anak suku yang tinggal di sekitaran sungai, tak jauh dari balai (rumah panjang). Ia adalah Dehen, sang pendongeng. Wajahnya penuh keriput, terukir dengan garis-garis usia. Di hadapan mereka, api unggun kecil menyala, cahayanya menari-nari di mata anak-anak suku yang penuh dengan rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka duduk bersila mendengarkan dengan saksama. Sementara seorang anak lagi hanya berdiri, bersandar di tiang balai agak jauh.

“Remaong itu ….” Sejenak Dehen terdiam, menatap jauh ke dalam kegelapan yang menyelimuti hutan di sekeliling mereka, seolah-olah mencari sosok Remaong yang mungkin sedang mengawasi dari balik pepohonan. Anak-anak menahan napas, terperangkap dalam jaring kata-kata Dehen. Bahkan, suara daun jatuh terdengar seperti auman halus yang menghantui malam.

“Remaong itu berwarna hitam pekat, tubuhnya besar seperti bayangan,” lanjut Dehen dengan suara yang lebih rendah. “Aumannya, Nak … oh, aumannya sering kali terdengar di tengah malam, di tengah-tengah belantara, sebagai pertanda kalau akan banyak buah yang siap dipetik di dalam hutan, atau malah sebaliknya, sebagai pertanda bala akan tiba.”

“Bala? Bala itu apa, Buwe?” tanya seorang anak perempuan yang duduknya paling dekat dengan Dehen. Anak perempuan itu bernama Danum.

“Bala, Nak, adalah musibah yang turun dari langit, seperti gagal panen, kemarau berkepanjangan, atau malapetaka serupa pahuni (kepohonan), yakni malapetaka yang datang tidak terduga.” Dehen menggulung tembakaunya, sepintas ia menatap ke arah anak yang berdiri.

“Hei, kau anak yang berdiri saja, ayo mendekat, jangan diam di situ!” Dehen berseru, kemudian terbatuk-batuk.

Merasa dipanggil, anak itu berjalan mendekat ke lingkaran, tapi masih menjaga jarak. Ia menjinjing bakul purun kecil, matanya berkilat-kilat dalam cahaya api. Lalu, setelah disuruh oleh Dehen, ia duduk di sebelah Danum yang menyapanya dengan senyuman manis.

“Kau anaknya Hanjak, bukan?” tanya Dehen setelah menelisik wajah si anak dengan matanya yang lamur.

Anak itu mengangguk cepat, bibirnya tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Iya, Buwe. Namaku Mantikei!” jawabnya dengan suara yang bersemangat.

Dehen terkekeh dan terbatuk-batuk lagi sebentar. Lelaki tua yang tinggal sendirian setelah istrinya meninggal itu sangat mengenal Hanjak, tetangganya berselang lima rumah, seorang lelaki Dayak yang pergi merantau ke Samarinda Ulu untuk bekerja di pelabuhan sebagai tukang las.

“Apakah bapakmu sudah kembali ke Samarinda lagi, Mantikei?” tanya Dehen dengan ramah.

“Iya, Buwe. Tiga hari yang lalu beliau berangkat lagi,” jawab Mantikei seraya melirik ke bakul purunnya.

“Terus ibumu, Hamen, sehat-sehat, kah?”

“Sehat, Buwe! Ee, ini ada celana dan sarung kiriman Ibu untukmu, katanya oleh-oleh.”

Dehen tampak semringah, perlahan mengambil dan meletakkan pemberian Mantikei di samping tempatnya bersila. “Terima kasih, Mantikei. Ibumu sungguh baik sekali. Kirim salamku untuknya.”

“Iya, Buwe, nanti aku sampaikan. Tolong lanjutkan lagi ceritanya, Buwe, tentang si Remaong penjaga gunung, ya?” pinta Mantikei kemudian.

Dehen terdiam sejenak, seakan ada yang diingat-ingat, lalu ia menggeleng perlahan dan bersiap melanjutkan cerita. “Orang-orang kita menganggap Remaong adalah makhluk suci. Kita mesti menghormatinya dan jangan sampai dibinasakan, nanti bala bisa turun.”

“Apakah Remaong itu bisa binasa, Buwe?” Danum kembali bertanya. Suara kecilnya terdengar seperti bisikan yang takut untuk keluar terlalu keras.

Lihat selengkapnya