LOLONGAN anjing merobek malam, terdengar nyaring hingga ke telinga Hanjak, dan berhasil merontokkan semangatnya untuk terus berlari. Kaki Hanjak lemas, bibirnya gemetar saat membayangkan nasib rekannya di pelabuhan. Tak perlu ditebak, rekannya pasti sudah tiada. Harimau yang tadinya mengincar Hanjak, tiba-tiba berpaling ke arah sang rekan dan menerkam tubuh gempal itu dengan buasnya.
Gila! Hanjak bergidik sesaat, lalu bergidik kembali saat teringat tragedi masa kecilnya. Terkilas samar di benak lelaki itu, ketika di kampungnya dulu seekor harimau tiba-tiba datang dan membunuh kakeknya yang sedang bekerja di ladang, mencabik tubuh sang kakek hingga darahnya berceceran ke mana-mana. Ia masih ingat betul ukuran dan mata merah harimau yang mengejarnya tadi, tampak sama dengan harimau pembunuh kakeknya yang berlari saat ia dan warga kampung berdatangan.
Hanjak yakin itu bukan harimau biasa, pasti harimau kiriman!
Dalam kalut, Hanjak bertanya-tanya kenapa sang harimau bisa-bisanya mengikutinya sampai ke kota. Namun, ia tak sanggup berpikir keras. Jantungnya seakan mau lepas. Sekilas, bayangan wajah cantik Hamen dan anak mereka berkelindan, lalu bayangan Nara Wangi yang sedang menangis datang menimpali.
“Sayang, biar kutunggu kau di neraka!” Sumpah keputusasaan Nara Wangi yang masih sempat didengarnya dulu terngiang kembali. Hanjak merasa ajalnya akan segera tiba. Ia pun mulai teringat akan dosa dan kesalahannya.
Raaarrrh!
Suara auman sang harimau terdengar menggelegar. Tubuh Hanjak makin gemetar. Tak sanggup menahan beban di hatinya, lelaki itu kemudian jatuh pingsan ke tanah tepian sungai, setelah celananya basah oleh air seni karena begitu ketakutan.
Tak lama setelah itu, sesosok bayangan wanita tua berkain batik sasirangan terlihat muncul dari arah sungai. Ia melata, merangkak seperti buaya. Sementara rambut panjangnya yang kusut basah dan tidak digelung, sebagian menyapu tanah.
Sungguh tampak mengerikan di temaramnya cahaya bulan!
Hanjak yang terbaring pingsan dan terpejam, masih jua belum sadar. Sementara nenek itu terus merangkak dan menghampiri Hanjak. Seulas senyum nan hambar tersungging dari bibirnya yang keriput. Kemudian, setelah beberapa helai rambutnya tampak membelai kepala Hanjak, nenek itu berbisik, "Cucu, apa yang terjadi dengan kau?"
Merasa ada hawa dingin mengembus telinganya, Hanjak pun tersadar seketika. Ia sangat terkejut kala melihat wajah nenek buruk rupa berada tepat di depan hidungnya. Namun, tak ada teriakan yang terdengar karena lidah lelaki itu terasa kelu. Hanya bola matanya yang bergerak-gerak. Ia panik. Dan rupanya untuk bangun berdiri pun dirinya tak sanggup lagi.
"Hi-hi-hi ... tak usahlah takut. Aku Datu Nurbaya, inguan gaib⁴ di sungai ini," ucap si nenek yang tak lama kemudian menampakkan diri menjadi wujud aslinya, seekor buaya kuning yang besar dan berlumut. Sejurus tawa nan aneh lalu terdengar dari mulut buaya itu.
Melihat penampakan buaya aneh lagi besar membuat Hanjak jadi kian ketakutan. Namun, sejurus kemudian ia seperti terhipnotis. Lelaki elok rupa itu tak sadar kala mengikuti jejak sang buaya berjalan ke arah sungai, hingga gelap akhirnya membuat dua tubuh makhluk beda alam itu mulai menghilang di rerimbunan hutan bakau.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba seekor harimau dengan mata semerah darah, sigap menghadang laju langkah mereka.