HARATI duduk sendirian di tepi sungai yang membelah kampung. Matanya kosong, rasa sedih yang mendalam masih menghantui pikirannya. Angin sepoi-sepoi yang sejuk menerpa wajahnya yang muram. Dalam diam, ia merenungkan kematian ibunya yang terjadi beberapa bulan lalu. Air mata, seperti embun, menetes di ujung matanya saat mengingat momen-momen indah bersama sang ibu.
“Indu akan selalu menjagamu, Harati. Saat Indu sudah tiada, pandanglah bulan jika kau rindu.”
Mina, ibu yang penyayang itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal, Mina memanjakan Harati seperti seorang ibu yang merawat anaknya sendiri. Ia mencurahkan segenap perhatian kepada Harati lebih dari apa pun. Ia sangat menyayangi Harati. Bahkan ketika sakit, Mina hampir tak menampakkan kepayahan dan rasa sakitnya.
Sementara Djata, di sisi lain, berhasil mendidik Harati dengan baik. Ia telah melatih Harati sejak usia dini dengan mantra-mantra penyembuhan. Harati terlahir bungkus, berselimut kulit ari. Ia mempunyai keistimewaan di luar nalar, yang mungkin diturunkan pula oleh Buwe Dayu. Lalu, Djata mengajari anaknya itu bagaimana mengendalikan diri dan memanfaatkan keistimewaan yang dimilikinya dengan bijak. Hingga Harati, dengan kecerdasan yang dimilikinya, seiring waktu, bisa cepat menyerap semua pelajaran yang diberikan oleh Djata dan membuktikan diri sebagai seorang pemuda yang tangguh.
Dulu, Harati kecil juga mempunyai ketertarikan terhadap alat-alat berburu, terutama sumpit. Melihat minat tersebut, Djata memutuskan untuk melatihnya dalam meniup sumpit untuk berburu hewan. Mata sumpit yang dilesatkan Harati bisa mengenai sasaran dengan sempurna, membuat Djata merasa bangga.
“Anakku, pulanglah ke rumah, sebentar lagi senja,” tegur Djata yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Harati.
Harati menyembunyikan air matanya cepat-cepat, lalu ia menurut dan langsung berjalan di belakang ayahnya menuju rumah.
Harati tahu, tentu keadaan hati ayahnya sekarang tak berbeda jauh setelah Mina meninggal dunia, hingga dengan segala daya dan upaya ia selalu berusaha terlihat tegar jika berhadapan dengan Djata. Berlaku seolah-olah ia adalah anak lelaki yang sekuat karang, yang tak pernah menangis dan berkeluh kesah.
Akan tetapi, bagaimana cara Mina memandang, memeluknya, mengajarinya memasak, mengajarinya bersenandung, caranya bertutur, Harati ingat. Dan semua itu membuatnya terjatuh dalam kesedihan berlarut-larut setelah kepergian Mina, meski disembunyikan dari penglihatan ayahnya. Harati sempat mengutuk diri karena mantra-mantra yang dimilikinya justru tidak berguna untuk menyelamatkan sang ibu.
“Kau lihat, Harati, sekarang keadaan sungai kita tampak berbeda. Kau tahu apa yang terjadi?” tanya Djata setelah mereka sampai di rumah dan duduk bersama di bangku bambu panjang yang ada di bawah pohon ketapang.
“Musim kemarau, Bapa. Mungkin karena itu.”
“Sepertinya bukan. Tahun-tahun kemarin saat kemarau panjang, air sungai tidak sedangkal sekarang. Selain itu, baunya juga agak berbeda.”
“Apakah kita harus bertanya pada roh leluhur?”