DENGAN tergesa-gesa, Mantikei berjalan keluar kamar. Ia melihat ibunya sedang duduk di depan pintu dapur, memandang ke arah bulan purnama yang sedikit tertutup awan hitam. Sorot mata Hamen tampak kosong, seakan tak ada gairah hidup. Rambut panjangnya yang tergerai kusut masai menambah kesan berantakan.
“Bapamu sudah pulang? Iya, dia sebentar lagi akan pulang, Mantikei.” Hamen meracau.
Mantikei mengerjap sedih, tapi dengan segera tersenyum saat mengetahui Hamen memandang ke arahnya.
“Mantikei, bapamu bilang dia akan membawakan Indu oleh-oleh dari Samarinda. Dia sudah pulang, ‘kan?”
Mantikei menggeleng perlahan. Hatinya terasa disayat. “Indu, masuklah ke kamar, tutup pintunya, dan cobalah untuk tidur. Bapa tak akan pulang hari ini.”
Hamen terdiam sejenak, lalu menangis. Ia memandang wajah Mantikei dengan nelangsa, kemudian berjalan menuju kamarnya.
“Dia pasti pulang, Mantikei! Suamiku akan pulang. Dia hanya terlalu sibuk bekerja,” racau perempuan itu ketika berjalan melewati Mantikei.
*
Kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu pula Mantikei. Seiring waktu, Mantikei tumbuh menjadi pemuda yang tak mengenal rasa takut. Pesona Hanjak diwariskan kepadanya, tercetak jelas gurat-gurat ketampanan meskipun tubuhnya tak setinggi sang ayah. Sudah banyak gadis-gadis kampung yang terpikat dan menyatakan rasa suka, tetapi sayangnya Mantikei tidak pernah menanggapi.
Sejak dahulu, cinta pemuda itu hanya untuk satu orang, yakni teman masa kecilnya; teman sepermainan saat berenang di sungai, duduk di balai, memancing di danau, mengejar kupu-kupu, dan saling bercanda satu sama lain. Ia adalah Danum, gadis serupa kejora yang kecantikannya tak bisa ditepis. Gadis yang punya suara lembut dan rambut terurai mayang itu mampu membuat malam-malam Mantikei dipenuhi euforia. Hati lelaki gagah itu bak disinari kunang-kunang ketika melihat Danum tersenyum. Lalu cinta itu menguar di daun-daun basah, menyala di kebeningan air sungai dan sejuknya rimba raya.
Akan tetapi, sore itu, ketika mereka sedang bersantai di tepian sungai, Mantikei akhirnya tahu akan sebuah kebenaran.
“Aku mencintai orang lain, maaf!” kata Danum.
“Siapa dia, Danum?” tanya Mantikei seakan tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Dia … dia, hm, namanya Harati Aria.”
Mendengar itu Mantikei jadi terdiam. Ia pernah mendengar dan sedikit mengetahui siapa Harati, seorang lelaki yang tinggal di kampung lain, di seberang sungai bagian hilir, tepat di bawah kaki gunung. Harati adalah lelaki kuat yang kebal senjata. Desas-desus mengatakan bahwa Harati sebenarnya adalah anak Remaong atau mungkin anak hantu penunggu gua, bukan anak kandung ibu dan bapaknya. Mantikei juga mendengar bahwa keberanian Harati tidak bisa diragukan. Kisah tentang Harati hanya Mantikei ketahui dari ujaran beberapa anak suku yang pergi ke hilir. Ia sendiri belum pernah bertemu dengan lelaki itu.
“Bagaimana kau mencintai dia? Kau kan tahu, Harati itu asal-usulnya tak jelas, lagi aneh dia itu. Dia orang seberang sungai di hilir sana, 'kan?” Mantikei akhirnya kembali membuka suara. Kilatan cemburu begitu tampak di matanya.
Danum menghela napas dan mengangguk. Ia sudah tahu pertanyaan itu akan muncul seiring perasaannya pada Harati yang terus bertumbuh. Ia pun sudah menduga bahwa Mantikei akan cemburu meskipun lelaki itu tak pernah menyatakan cinta sebelumnya. Danum menganggap Mantikei hanyalah seorang saudara, sejak dulu. Ia menyayangi Mantikei, tapi tak pernah mengimpikannya seperti ia mengimpikan Harati. “Aku tahu, Mantikei. Tapi, aku tidak bisa mengontrol perasaan. Cinta itu datang tiba-tiba.”
Mantikei mendengkus kecil. “Harati hanya memanfaatkanmu, Danum.”
“Entahlah,” jawab Danum lemah, "yang jelas, Harati pernah menolongku dari kematian.”