LELAKI muda bertubuh tegap itu meletakkan tas ranselnya di samping pintu kamar. Perjalanan dari kampung halamannya di Pulau Sumatera ke pedalaman Kalimantan cukup menguras waktu dan tenaga. Matanya sudah terlihat sayu meskipun waktu salat Isya baru saja lewat. Yang ia inginkan sekarang adalah istirahat atau tidur barang sejenak.
Setelah tadi sempat menemui bagian personalia, lelaki yang masih mempunyai darah Banjar Kalimantan itu telah siap menjabat sebagai Kepala Keamanan perusahaan pada esok hari, tepat tiga hari sebelum acara pembukaan tambang dan sosialisasi bersama masyarakat. Selama menjabat, ia menempati sebuah kamar khusus dalam area mes yang sudah disediakan. Kamar itu berdampingan dengan kamar Admin Personalia, seorang perempuan manis berkulit sawo matang yang berasal dari tanah Jawa.
Bangunan mes yang ia tempati terletak di dekat danau buatan, berseberangan dengan mes para sopir, mekanik, dan operator alat berat, serta karyawan-karyawan lainnya. Bangunan yang terbuat dari kontainer-kontainer modifikasi dan barak kayu itu tersusun secara teratur dan berbentuk U. Kantor perusahaan tampak agak spesial karena terbuat dari kayu dan papan ulin, letaknya di sebelah kanan, dengan pilar-pilarnya dihiasi berbagai ukiran kayu suku adat setempat.
Di kasur, lelaki yang bernama Syarifudin itu merebahkan diri, mencoba memejamkan mata demi bisa tertidur. Namun, entah kenapa pikirannya malah melayang ke kampung halaman. Atau, lebih tepatnya kepada Fatma Rindiani, seorang gadis di Kota Siak yang merupakan jantung hatinya. Janji untuk bisa hidup bersama telah ia ikrarkan kepada Fatma meskipun aral paling nyata ada di depan mata: orang tua Fatma tak menyetujui jalinan kasih yang mereka rajut.
Dulu, Syarifudin adalah lelaki liar dan ia hidup hanya bersama neneknya yang kini sudah meninggal dunia. Sebuah kebakaran yang menghanguskan rumah beserta orang tua dan adiknya ketika ia masih kelas 1 Tsanawiyah membuat lelaki itu tumbuh di jalanan. Ia sudah biasa dengan kerasnya hidup. Keberanian tiada tandinglah yang membuatnya bisa bertahan.
Hingga pada suatu hari tanpa sengaja ia bertemu Hamka, seorang Manajer Keuangan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis dan pertambangan.
Kala itu, Hamka hampir saja dibacok oleh sekawanan begal sehabis ia pulang dari kantor. Syarifudin yang pergi merantau ke Lampung dan kebetulan lewat di tempat kejadian, datang menyelamatkannya. Lewat Hamka-lah, Syarifudin akhirnya mempunyai kesempatan bekerja di perusahaan. Awalnya menjadi satpam, tak lama kemudian ia diminta Hamka untuk mendampingi saat lelaki Bugis itu dikirim ke Kalimantan. Ia dijanjikan menjadi Kepala Keamanan di sebuah tambang batu bara.
Meninggalkan dunia hitam dan bekerja di perusahaan tak lantas membuat hubungan cintanya dengan Fatma direstui. Orang tua Fatma kuat berkeyakinan bahwa lumpur tetaplah lumpur, seekor gagak hitam tak akan menjadi garuda yang hebat, dan tato naga di tubuh Syarifudin adalah cermin abadi bagi kebengisannya.
Oleh karena itu, Syarifudin bertekad kuat untuk memantaskan diri dengan menyanggupi permintaan Hamka. Meskipun ia telah mendengar bahwa Kalimantan adalah pulau yang berbahaya, penuh misteri, dan diselimuti oleh hutan belantara, ia tak takut. Yang ditakutinya adalah jikalau Fatma dinikahkan dengan lelaki lain sebelum ia datang kembali untuk meminang. Hal itulah yang membuatnya kepikiran sepanjang jalan, bahkan hingga kini, ketika ia telah berbaring di kamar mes dan malam telah larut, tapi rasa kantuk yang tadi sempat menyergapnya malah menguap entah ke mana.
*