“Kur semangat. Kering jadi habis kering. Darah di kulitnya berhentilah. Kembali. Ke asal seperti semula. Jadi kering. Berhenti sakit. Benuang tumbuh di jurang. Bengkala tumbuh di pantai. Tumpuan ada di orang. Penyembuhan ada di aku. Kur semangat, keluarlah keluarlah. Sembuhlah sembuhlah. Yang menyebabkan sakit perut. Keluarlah keluarlah. Yang membuat sakit itu. Menjadi sembuh menjadi sehat!”
MATAHARI sore menyinari wajahnya yang berkerut. Kaki telanjangnya menjejak tanah liat yang dingin. Ia seolah-olah merasa sudah mengembara sangat lama. Ada sebercak keraguan saat menginjak tanah yang baginya tidaklah terlalu asing. Rupanya belum banyak perubahan yang terjadi. Kampung itu tetap asri, dikelilingi hutan yang menjadi tempat bernaung para satwa dan sumber mata pencaharian bagi sekelompok masyarakat Meratus yang mencari penghidupan di sana.
Setelah memantapkan hati, ia melanjutkan perjalanan. Sesekali ia berpapasan dengan beberapa orang. Tiada tegur sapa, hanya seraut senyum dari bibir orang-orang itu yang kemudian dibalasnya dengan senyuman pula.
Kemudian, dengan hati masygul, ia berdiri sebentar di tepi sungai. Di atas lanting yang berlarung di tengah sungai itu, tampak orang-orang menatapnya dengan tatapan ramah. Ada pula seorang anak tak berbaju dengan koreng di kaki, yang tak ia kenal, sedang tersenyum.
Di satu sudut rumah besar yang ada di sebelah kanan ia berdiri, riuh terdengar bisik-bisik dari satu kerumunan, berasal dari para gadis yang dengan malu-malu melihat ke arahnya. Akan tetapi, ia tak mengindahkan, dan terus berjalan. Di benaknya sekarang … hanya ada bayangan rumah.
Rindu bergejolak tatkala kakinya sudah hampir memasuki rumah yang ia pikir adalah rumahnya. Melihat penampakan rumah itu, ada selaksa gundah yang bertengger di matanya. Ia seperti mendengar suaranya ketika masih kecil yang dulu merengek, meminta perhatian dari ibunya. Ia tanpa sadar tersenyum, terkenang ketika dulu dirinya selalu bermanja kepada ibunya itu. Sebaris kenangan manis sekejap melenakan jiwanya.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sendiri. Angin rupanya cukup kencang dan mampu mendorong pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka secara mendadak.
“Indu! Dewi Bulan!” panggilnya dengan euforia di dada. Matanya bersinar syahdu.
Tapi, tidak ada yang menjawab. Rumah itu kosong!
Kemudian, satu bayangan kelabu tiba-tiba muncul dan mendekapnya dari belakang. Tubuhnya menjadi kaku seketika. Ia mau berlari tapi tak bisa. Bayangan kelabu itu membesar, makin besar, dan mulai menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Aduhhh!” jeritnya kebingungan. Ia sejenak merasa pusing, lalu matanya terpejam sempurna.
Hari itu, Harati terbangun di dasar jurang dengan kepayahan. Entah hal apa yang bisa membuatnya “hidup” kembali. Yang jelas sebelum terbangun, Harati seperti melihat bayangan kelabu yang berubah menjadi sesosok lelaki tua berpakaian adat, sedang membaca mantra sambil menari-nari. Harati juga mendengar suara tetabuhan yang membuat telinganya terasa pekak.
“Kur semangat. Meang awis meang. Raya ba upak ne. Radu at mulek pe sara hadi. Jari meang. Radu manang!”⁵ Lelaki tua itu lalu menghilang.
Beberapa hal yang langsung Harati ingat ketika berhasil keluar dari jurang adalah wajah Danum dan Mantikei yang samar-samar serta rajah unik yang tiba-tiba terukir hampir memenuhi tubuhnya yang tegap. Juga, rapalan mantra Dayak yang ia tak begitu pahami karena seperti bukan rumpun bahasa dari sukunya sendiri.
Sebelum malam kian gelap, Harati kemudian berjalan gontai ke arah rembulan berpijar. Ia hilang ingatan, bingung tentang apa yang sudah berlaku. Dengan tenaga yang masih tersisa, lelaki itu mengikuti suara-suara aneh di telinganya dan terus saja berjalan tak tentu tuju.
Tanpa pernah berbicara sedikit pun, Harati terus berjalan dengan pikiran kacau. Minggu demi minggu terlewati dan lelaki itu seperti tiada lelah berjalan terus, layaknya mayat hidup yang tak memedulikan apa-apa. Beberapa kali ia menyeberangi sungai dan menerobos hutan belantara. Ketika lapar ia akan memakan apa saja yang ditemui, yang dikiranya bisa dimakan. Ketika ingin tidur pun lelaki itu tak mau ambil pusing, ia akan tidur di sembarang tempat.
Hingga akhirnya, Harati sampai di sebuah pemukiman yang mana rumah-rumah di sana berdiri berbanjar-banjar di sepanjang tepian sungai. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu itu sebagian tampak bergoyang sedikit apabila air sungai memecah ombaknya, terutama jika ada kapal besar yang melintas.