BULAN demi bulan berlalu, gadis cantik yang merupakan putri tunggal keluarganya itu telah berulang kali mencari Harati ke rumahnya, tetapi hanya bertemu dengan Djata. Tak ada kabar apa pun atau tanda-tanda Harati berada di sana. Pemuda yang dicintainya itu seperti telah lenyap dari muka bumi.
Djata pun sudah ikut mencari sang anak ke mana-mana, hampir setiap hari, dengan hati yang cemas bercampur bingung. Lelaki penyabar yang mulai ringkih itu bahkan telah berusaha menemui Buwe Dayu, tetapi tak bisa bersua. Goa di mana bayi Harati diberikan pun, sudah tiada lagi.
Harati Aria tak lebih dari seorang pengecut, itu yang dikatakan oleh Mantikei ketika meminta Danum bersedia jadi istrinya dan segera melupakan Harati, pada suatu sore. Namun nyatanya, Mantikei kembali merasa patah sebab perasaannya tertolak berkali-kali. Danum bersumpah bahwa ia lebih baik mati daripada menikah tanpa cinta di sanubari.
“Buang cinta itu jauh-jauh, Mantikei,” ujar Danum sambil menangis. Danum tak mau hidup dalam kepura-puraan. Ia tetap pada pendirian dan hanya menganggap Mantikei sebagai saudara. Lagi pula, ia tahu perangai Mantikei yang kasar dan kurang bisa mengendalikan amarahnya.
“Kenapa? Kenapa begitu keras hatimu, Danum? Harusnya kau percaya bahwa aku bukanlah Harati. Aku tak akan pernah meninggalkanmu!”
“Aku tak pernah mencintaimu, itu saja. Kau itu sudah aku anggap kakak, Mantikei, tak lebih! Tolong, lupakan aku. Aku pun tahu dan yakin bahwa banyak gadis lain yang memujamu dan ingin kau jadikan istri, pilihlah salah satu dari mereka,” jawab Danum seraya menghapus air mata dan berlari menjauh.
“Bangsat!” Dengan geram Mantikei memukul-mukul dadanya. Lelaki itu menelan ludah, sekaligus menelan rasa kecewa yang teramat. Ia tak tahu apakah kejahatan yang dilakukannya dahulu adalah sebuah kesia-siaan. Ia juga tak yakin apakah harus benar-benar menyesal atau tidak. Namun, faktanya kini Danum malah kian bersedih hati dan tetap bersikukuh tak ingin hidup bersamanya. Entah siapa yang lebih bodoh sekarang, pikir lelaki itu. Ia lalu terkenang ajakan seorang paman yang menyuruhnya pergi dari kampung bersama sang ibu.
*
Pagi itu sungguh terasa sukar, Danum berada dalam pilihan yang berat. Seorang keluarga jauhnya datang ke rumah dan mengajak gadis itu untuk ikut bekerja di perusahaan tambang yang beroperasi di sudut rimba yang lain. Katanya, perusahaan itu membutuhkan beberapa juru masak lagi. Ini adalah kesempatan yang baik dan janganlah dilewatkan, bujuk sang keluarga.
Keluarga jauh yang merupakan sepupu dua kalinya itu telah bekerja di perusahaan tersebut selama hampir enam bulan. Seminggu yang lalu ia mendapat cuti dan sebelum masuk bekerja lagi, telah diminta bagian personalia agar mencari juru masak lain untuk membantunya di kantin.
Memasak dengan cita rasa yang tinggi adalah keahlian perempuan-perempuan Kalimantan. Seperti itu yang mungkin ada dalam pikiran pihak perusahaan, atau bisa pula … bagi mereka mempekerjakan putra-putri daerah bisa menjadi jembatan untuk bersosialisasi dan meraup simpati dengan cara yang paling halus.
Di hadapan sang sepupu kala itu, Danum belum bisa menjawab meskipun ibu dan ayahnya telah setuju dan ikut pula membujuk. Di benak gadis itu masih ada rasa bingung dan sakit yang begitu dalam setelah Harati pergi tiada kabar. Sebenarnya, Danum sempat berpikir ingin meluahkan segala keresahan kepada orang tuanya tentang hubungan cintanya bersama Harati, tetapi toh hubungan yang memang ia sembunyikan itu telah kandas tanpa kejelasan sedikit pun.
Hingga kini, Danum merasa seperti seekor kupu-kupu yang tak punya tempat mengadu ketika warna sayapnya tak cantik lagi. Ia merasa begitu tersakiti, tetapi untuk melupakan Harati, Danum belum bisa.
Namun, hidup itu adalah sebuah pilihan. Desakan sepupu dan orang tuanya agar Danum pergi merantau akhirnya mendapat jawaban seminggu kemudian. Setelah berpikir secara matang, Danum telah siap untuk pergi dari kampungnya. Di tempat yang baru, ia ingin melupakan segala hal yang berkaitan dengan cinta, termasuk cinta dari Mantikei yang kini tak lagi pernah menemuinya dan menurut kabar telah pergi ke kota besar bersama sang ibu, tanpa mau berpamitan padanya.
Hari itu hujan rintik-rintik, Danum tetap berangkat dengan hati yang tergetar. Sementara kedua orang tuanya melepas kepergian Danum dengan tangis dan pesan kepada sang kemenakan agar menjaga Danum baik-baik.
“Ketika mendapat cuti, kami akan pulang,” kata sepupu Danum dengan senyum lebar di bibirnya. Sementara Danum memeluk kedua orang tuanya dengan erat. Dalam benak gadis itu, lagi dan lagi, ia ingin melupakan masa lalu.
*
Hari demi hari, Danum sibuk bekerja sebagai juru masak dan mulai mengubah pola hidupnya. Gadis itu harus bangun lebih pagi sebelum para karyawan tambang yang lain mulai beraktivitas.
Wajah yang jelita, tubuh sintal dengan kulit putih, bibir sensual, dan sikapnya yang terlihat lebih pendiam di antara juru masak yang lain, membuat Danum menjadi buah bibir di seputaran tambang. Banyak lelaki di sana yang diam-diam maupun secara terang-terangan menaruh hati kepadanya. Namun, Danum hanya akan tersenyum tipis dan tidak terlalu mau menanggapi setiap godaan yang datang. Di hati gadis itu, cinta kepada Harati masihlah meraja.