KETIKA Syarifudin pulang cuti ke Sumatera, hal pertama yang dilakukannya adalah mendatangi rumah Fatma Rindiani. Ia tahu bahwa tak mungkin lagi mereka bisa bersatu, tetapi paling tidak rasa rindunya bisa terobati. Ah, ia sendiri sebenarnya kurang begitu yakin, apakah rindu itu bisa terobati seiring rasa cemburu dan sakit hatinya karena ditinggal menikah?
Pagi itu, ketika matahari baru terbit, Syarifudin berdiri agak jauh di depan rumah besar yang katanya milik suami Fatma—seorang juragan perhiasan bernama Andi Wirawan. Ia berharap bisa melihat kekasihnya untuk yang terakhir kali.
Tak berapa lama Syarifudin menunggu, hatinya serasa diremas saat melihat Fatma keluar dari balik pintu dan berjalan mengantar suaminya ke mobil. Fatma mencium tangan sang suami dan dibalas dengan kecupan di dahi. Mereka sama-sama melempar senyuman, tampak begitu mesra dan saling menyayangi.
Syarifudin menggigit bibir perlahan, lalu berdecak dengan tangan terkepal. Ingin rasanya ia berlari menghampiri dan menghajar suami Fatma. Namun, sekejap kemudian lelaki itu beristighfar, teringat bahwa cinta dan amarah tak layak untuk disandingkan.
“Dia bukanlah jodohku,” gumam lelaki itu. Nyatanya, ia ingin bertobat dengan sungguh-sungguh.
Mobil yang dikendarai suami Fatma tampak hendak melintas di depannya. Syarifudin langsung merunduk, berpura-pura sedang membenarkan tali sepatu. Kemudian, ia berdiri tegak, memutar badan, dan memandang ke arah Fatma yang ternyata juga sedang memandangnya dengan raut wajah terpukau.
O, binar cinta itu masih ada, Syarifudin sangat yakin akan hal itu. Lelaki itu tampak terdiam di tempatnya, Fatma pun sama. Keduanya seperti berada di dunia mereka sendiri. Dan seiring suara knalpot dari beberapa motor yang lewat, air mata jatuh di pipi Fatma, bibirnya bergetar, tetapi belum ada sepatah kata pun yang keluar.
Cinta di hati keduanya tak lekang digores kenyataan. Namun, Syarifudin kuat meyakinkan diri untuk tidak merusak rumah tangga orang. Ia tak mau jadi maling atau perampok macam dulu. Ia tak berhak untuk balas menyakiti sebab yakin bahwa Fatma pun menikah semata-mata karena dorongan orang tuanya. Lagi pula, mengambil istri orang bukanlah jiwa ksatria.
Setelah berpikir panjang, Syarifudin mengangguk kepada Fatma lalu berjalan pergi dari tempat itu. Ia berjalan tanpa mau menoleh ke belakang. Sementara Fatma rupanya tidak bisa menahan diri. Wanita itu berlari keluar setelah membuka kembali pintu pagar. Ia mengejar Syarifudin dengan hati yang kacau balau.
“Kak Syarif!” panggil Fatma setelah berada tak jauh di belakang Syarifudin. Napas wanita itu menderu.
Syarifudin menoleh. Ia berhenti berjalan, tetapi belum berkata apa-apa.
“Kak, ma-maaf ….” Fatma tampak serba salah saat memangkas jarak dengan Syarifudin.
“Buat apa meminta maaf?” Syarifudin tersenyum.