10
MALAM digerayangi dingin dan Syarifudin sedang bertafakur di atas sajadah. Selesai salat Tahajud, lelaki itu teringat pada kejadian tadi pagi di kantin. Ia ingat cerlang mata Danum yang malu-malu saat mendatanginya. Perempuan yang sempat dikiranya sudah bersuami, tetapi nyatanya masih gadis itu memberinya secangkir kopi dan secarik kertas bertuliskan ‘terima kasih’, dengan tulisan tangan yang awut-awutan.
Lalu, yang lucunya adalah, meskipun sudah dituliskan, ungkapan terima kasih itu malah keluar lagi dari mulut Danum, “Terima kasih, Pak, sebab sudah menolongku keluar dari danau malam kemarin.”
Melihat Danum tampak salah tingkah saat mengucapkannya, Syarifudin tergelak sebentar, lalu berkata, “Kembali kasih, Nona. Lain kali, jangan belajar berenang tengah malam, ya. Itu berbahaya.”
“Dih, aku bukan lagi belajar berenang, Pak! Malam itu seperti ada kekasihku yang mengajak terjun ke danau,” jawab Danum.
“Ha-ha, iya, iya. Saya sudah dengar ceritanya dari rekan kerja yang lain. Anggaplah danau itu berhantu. Jadi, lain kali kamu hati-hati!”
“Silakan diminum dulu kopinya, Pak.” Danum mencoba mengatasi kegugupannya. Bagi gadis itu, lelaki di depannya terlihat sangat berwibawa.
“Hm, terima kasih. Ngomong-ngomong, jangan panggil saya Pak, panggil saja Syarif.”
“Eh, tapi ….”
“Nama saya Syarifudin, panggil nama saja. Toh, usia kita sepertinya tak berbeda jauh.”
“I-iya, Pak. Eh, iya, Syarif. Nama saya Danum.” Danum mengubah ‘aku’ menjadi ‘saya’. Rasa segan mulai muncul di hatinya.
“Nah, begitu kan terdengar lebih enak. Baiklah, saya mau berangkat ke tambang dulu. Salam untuk kekasihmu ya, Danum. Bilang sama dia jangan ngajak mandi malam-malam, ha-ha-ha.”
“Ma-mantan kekasih, Pak, eh, Syarif ….” Danum salah tingkah.
“Iya, kekasih, mantan, atau apalah namanya. Yang penting kamu hati-hati menjaga diri,” tukas Syarifudin sembari menghabiskan kopi buatan Danum cepat-cepat, lalu pamit pergi dari hadapan gadis itu dan berjalan menuju parkiran mobil tanpa menoleh ke belakang.
Akan tetapi, sebelum ia melangkah terlalu jauh, tiba-tiba terdengar suara Danum memanggil, “Syarif, kacamata safety-mu ketinggalan.”
Mendengar hal itu, Syarifudin pun berjalan kembali ke tempat Danum berada. “Oh, iya. Kacamatanya lupa, mungkin karena saya tadi terpukau pada matamu yang indah, Danum,” godanya.
Danum kembali salah tingkah. Ia tersenyum kecil dengan pipi yang memerah, dan rupanya tak sanggup lagi berkata-kata.
Di atas sajadahnya, kini, Syarifudin senyum-senyum sendiri, kemudian lamunannya akan kecantikan Danum buyar ketika HT yang diletakkannya di atas kasur dalam kondisi menyala, tiba-tiba berbunyi, “Ada tukang masak yang kerasukan di Mes Srikandi dan membuat gaduh, Pos 1 melapor, ganti!”
“Laporan diterima. Siap meluncur, 86!” Syarifudin menarik napas sesaat, lalu bersiap-siap pergi menuju sumber keributan. Resiko pekerjaan terkadang memang membuat lelaki itu jadi terbiasa untuk bekerja lembur.
*
Mobil Syarifudin melaju kencang menuju rumah Abah Ruslan, pimpinan pondok pesantren setempat. Jalanan yang ia lalui sekarang sungguh sepi, hanya diterangi remang-remang cahaya bulan, sementara suara mesin mobil menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Dada Syarifudin berdebar kencang, bayangan Danum yang kerasukan terus mengganggu pikirannya. Lama hidup di dunia, baru kali ini ia melihat orang kerasukan. Sungguh ganjil dan lebih baik menghadapi lima orang musuh saja sekalian, pikirnya.
Setibanya di rumah Abah Ruslan, Syarifudin segera keluar dari mobilnya. Kakinya mengentak tanah yang berpasir, napasnya tersengal-sengal. Hawa dingin seperti tak terasa sama sekali, keringat membiji jagung di keningnya. Ia mengetuk pintu beberapa kali sambil mengucap salam, tetapi belum ada yang menjawab. Setelah ketukan keempat, barulah terdengar suara serak Abah Ruslan dari dalam, "Siapa di luar?"
"Ini saya, Syarifudin, Bah! Tolong, Bah, ada perlu!"