11
ORANG-ORANG di kampung pinggiran sungai itu memanggilnya dengan sebutan Ate, lelaki Dayak yang sering bergumam "ate-ate" ketika diajak bicara. Beberapa orang menganggapnya sinting, beberapa lagi menganggapnya seorang wali Tuhan yang tersesat karena tak ada satu pun orang di sana tahu dari mana asal lelaki itu.
Setelah dulu dianggap bisa menyembuhkan penyakit Maimunah, banyak orang yang mulai bersikap ramah kepada Ate, walau lelaki itu masih sibuk dengan kesintingannya.
Beberapa kali, orang-orang yang keluarganya sakit ada yang mencoba berkomunikasi dengan Ate, berharap untuk dibantu. Namun sayangnya, hanya beberapa orang yang dibantunya dan bisa sembuh, kebanyakan hanya mendapat senyum mengejek dan tawa aneh dari lelaki itu. Nyatanya, orang sinting memang susah untuk diterka.
Sudah sejak beberapa hari yang lalu, Ate sering terlihat di pemakaman kampung. Ia biasa tidur dalam sebuah bangunan kecil berdinding papan tempat orang menyimpan perlengkapan menggali makam. Letak bangunannya tepat di depan area makam itu, agak jauh dari rumah warga. Kendati demikian, ia tak pernah kelaparan karena setiap hari ada saja warga, terutama Maimunah, yang memberinya makanan saat lelaki itu melakukan ritual khususnya, yakni mondar-mandir tak tentu arah di jalanan kampung.
Perlahan tapi pasti, waktu terus berjalan. Hari itu, ketika pagi hendak menjelang, di dalam bangunan kecil, Ate terbangun dan mengingat sesuatu. Ia terbayang wajah seorang gadis cantik jelita yang tengah berenang di sungai, lalu wajah lelaki sedang memegang sumpit yang sepertinya mereka seumuran. Lelaki yang memegang sumpit itu tampak marah dan berkata-kata sedikit tidak jelas. Bayang wajah dan suara itu berputar-putar, bising bergema di telinga Ate, tetapi cuma sekejap saja. Dan Ate pun tak mengingatnya lagi.
Siang terasa begitu terik saat Ate duduk bermenung di dermaga yang ada di ujung kampung. Lelaki berpakaian kaos hitam pemberian warga itu menatap air sungai yang berair kecokelatan di depannya. Dua anak kecil melewati dermaga itu ketika pulang dari madrasah. Ate tidak melihat mereka karena terlalu sibuk memandang sungai besar yang seolah pernah begitu lekat dengannya.
“Hei, lihat! Ada Ate di situ!” seru seorang anak perempuan yang memakai sandal jepit “nipon”, menunjuk ke arah Ate.
“Kata abahku, Ate itu gila dan bisu. Kita harus hati-hati dan jangan mendekat, dia suka makan kekanakan!” sahut temannya yang bertubuh kurus, nadanya takut-takut.
“Ngeri sekali, ya.”