Mantra Kuning

Rie Arshaka
Chapter #13

Keluarga Jauh

12



CINTA itu laksana angin segar yang menyusup lembut ke dalam relung jiwa, membawa damai dan rindu yang melenakan. Danum tak pernah mengerti, mengapa Syarifudin bisa begitu cepat mengambil alih posisi Harati di hatinya, menggantikan bayangan yang membuat Danum merasa sepi di tengah ramai. Senyum hangat lelaki itu, suaranya yang lembut tapi tegas, dan rayuannya yang terasa lucu namun jauh dari kesan murahan, serta segenap perhatiannya membuat Danum masyuk dalam lamunan hampir setiap waktu.

Seiring banyaknya pertemuan mereka di tambang itu, hari-hari Danum tak lagi sunyi. Kekosongan itu telah terisi meskipun masih ada trauma yang menghantui jiwanya. Trauma itu terkadang membuatnya berpikir agar tidak berharap terlalu banyak. Namun nyatanya, cinta tak bisa bersembunyi. Perasaan itu terus tumbuh meskipun Danum belum berani menampakkannya dengan jelas.

Sementara itu, Syarifudin pun tak lepas dari gejolak perasaan yang serupa. Cinta hadir tak diundang, dan perlahan namun pasti, kehadiran Danum menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari Syarifudin. Lelaki itu telah terbiasa dengan segenap perhatian yang Danum berikan: secangkir kopi hangat yang selalu disiapkan setiap pagi, atau kudapan ringan yang dibuatkan khusus untuknya. Danum kerap berdalih bahwa semua itu adalah bentuk terima kasih atas kebaikan Syarifudin. Padahal, Syarifudin sudah menduga dan sedikit melihat, ada bias cinta di mata Danum ketika gadis itu memandangnya, lalu menunduk malu-malu.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin erat. Dua insan berbeda suku itu mulailah berbagi rasa, bercerita tentang banyak hal, tak pernah bosan menghibur dan saling memperhatikan. Hingga pada suatu senja yang ranum, Syarifudin memberanikan diri menyatakan cintanya pada Danum. Dan gadis itu, meskipun dengan hati yang masih ragu, akhirnya bersedia menerima.

Sejatinya, Syarifudin tahu cinta mereka teramat sulit untuk bisa bersatu. Perbedaan adat istiadat serta keyakinan tentunya akan menjadi aral yang paling besar. Namun, ia pikir tak ada salahnya menjalani hidup dan cinta itu seperti air sungai yang mengalir, perlahan-lahan, dan biar Tuhan yang memutuskan ke mana ia akan bermuara.

Tuhan Maha Mengetahui. Kehadiran Danum sedikit banyak membuat Syarifudin lupa akan Fatma, itu benar!

*

Ibu Salasiah Timur, rumah no. 12, belakang Pasar Muara Teluk Dalam, seberang asrama panjang, tak begitu jauh dari Pekuburan Kristen, Kamboja, Banjarmasin.

Syarifudin, lelaki berambut cepak itu sedang duduk menikmati es cendol di siring sungai bersama Danum. Kacamata safety hitam bertengger di atas kepalanya. Tempo hari, mereka sama-sama mengambil cuti dan Syarifudin mengajak Danum untuk mencari keluarga ibunya yang tinggal di Banjarmasin.

Sudah lama Syarifudin berniat untuk menemukan keluarganya yang masih hidup. Kebetulan ia ada di Kalimantan. Ia menyimpan catatan tentang keluarga ibunya itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh neneknya sebelum meninggal dunia. Rencananya, mereka berdua akan lanjut pergi ke kampung Danum setelah Syarifudin bertemu keluarganya. Seorang rekannya yang merupakan putra daerah meminjamkan motor Vespa miliknya kepada Syarifudin. Jadi, mereka tak perlu naik angkutan umum.

Syarifudin membaca lagi tulisan tangannya di secarik kertas yang tampak menguning sebab telah tersimpan begitu lama. Kata neneknya, Ibu Salasiah adalah saudari kandung sang nenek yang menikah dengan orang Martapura, lalu diboyong suaminya ke Kalimantan, dan tak pernah kembali lagi ke Sumatera. Namun, pernah mengirim surat sekali kepada sang nenek untuk memberitahukan bahwa dirinya masih hidup, pun dalam keadaan yang baik dan telah memiliki seorang anak, juga cucu.

“Es ini enak sekali!” celetuk Danum tiba-tiba. Gadis itu tampak mengais-ngais isi gelasnya dengan sendok.

“Mau nambah?” tanya Syarifudin sembari memasukkan kertas yang dipegangnya ke dalam saku.

“Boleh!” Danum tersenyum.

Syarifudin kemudian mendekati gerobak penjual dan ingin memesan segelas es cendol lagi kepada paman penjualnya yang terlihat pincang jika berjalan, sebab kakinya cengkok sebelah. Namun, saat ia ingin memesan, tiba-tiba seorang pengendara motor Honda 70 yang melintas meneriaki mereka, “Di belakang ada Satpol PP lagi razia. Awas, Pak!”

Paman penjual es cendol yang mendengar itu seketika membereskan gerobaknya, lalu bergegas mendorong gerobak itu pergi menjauh. Syarifudin tanpa sadar malah ikut mendorong gerobak, membantu si paman yang rupanya hendak bersembunyi di sebuah gang sempit di seberang sungai. Sementara Danum, melongo di tempatnya berdiri sambil memegangi gelas es cendol yang telah kosong.

“Syarif, kenapa lari? Satpol PP itu apa?” teriak Danum kebingungan.

Syarifudin yang mendengar teriakan Danum seketika tersadar. Sialan, kenapa aku ikutan lari? Syarifudin membatin sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia lalu kembali ke tempat Danum berdiri, mengambil gelas di tangan gadis itu sambil senyum-senyum merasa malu.

Lihat selengkapnya