13
BERMAIN judi itu memang menyenangkan. Candu perjudian membuat orang menjadi sakau hingga kepalanya penuh dengan pengandaian-pengandaian, apalagi jika menang terus. Namun, tak ada sejarahnya pemain judi itu bisa kaya raya. Yang ada bakalan hidup melarat. Hanya sayang, bagi Baihaki, nasihat dari mendiang orang tuanya dulu hanya serupa angin lewat.
Malam itu, Baihaki tersenyum lebar saat menyimpan uang kemenangan di saku celananya. Sudah beberapa kali nasibnya mujur, menang banyak saat berjudi kartu di rumah kawannya, si Joni. Perkataannya kepada Arum mau pergi ke rumah kawan untuk menanyakan pekerjaan, nyatanya cuma bualan semata.
“Arum pasti senang jika malam ini aku pulang bawa uang,” gumam Baihaki dengan logat Banjar-nya kala berjalan pulang ke rumah. Hidup memang sedang sakit-sakitnya. Setelah ia mendapat PHK dari bengkel mesin Dongfeng milik Julak Bahrul, lelaki berjambang tipis itu kerap bingung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya ia hanya pergi memancing, tapi itu hanya untuk membuang suntuk. Ikan di sungai tidak seperti ikan di tambak. Paling-paling ia dapat ikan delapan sampai sepuluh ekor dalam sehari, itu pun tidak berukuran besar. Arum terkadang malah mengomel karena setiap hari harus menyiang ikan sementara stok beras di rumah makin menipis.
Malam telah larut ketika Baihaki sampai di depan rumahnya. Sebelum ia mengetuk pintu, lelaki itu mendengar suara seorang pria yang bersenandung di samping rumah. Suara itu lirih dan terdengar sedikit tidak jelas. Bergegas lelaki itu pergi memeriksa, lalu ia terkejut saat melihat siapa orang yang bersenandung.
“Kau lagi apa, Te?” tegur Baihaki dengan nada curiga kepada Ate yang tampak duduk berjongkok di bawah pohon pisang. “Pergilah kau sana!”
Ate memandang Baihaki, tidak menjawab dan tidak pula mau pergi dari tempatnya. Lelaki sinting itu hanya berhenti bersenandung. Kepalanya mendongak, memandang langit. Seolah-olah tak melihat ada Baihaki di situ.
Merasa tidak ditanggapi, Baihaki hendak menghampiri Ate. Namun, Arum tiba-tiba membuka pintu, lalu berkata, “Sudahlah, Bang. Biarkan saja dia di situ. Toh, tidak mengganggu, pun. Baik abang masuk saja ke rumah. Ada berita penting!”
Sambil sedikit menggerutu, Baihaki menuruti permintaan istrinya. Ia lalu minta dibuatkan kopi setelah menutup pintu rumah dan menguncinya.
Di dalam rumah, lelaki itu rupanya masih merasa penasaran. “Sejak kapan si gila itu suka duduk di dekat rumah malam-malam, Rum?” tanyanya.
“Sudah beberapa malam ini, Bang. Tapi, tidak tiap malam.”
“Sejak yang kemarin itu? Yang dia muncul dari sungai?”
“Iya. Dia kubuatkan kopi kemarin. Sempat bingung juga. Kan, kata orang-orang dia itu bisu, Bang?” Arum meletakkan kopi pesanan suaminya di meja. Baihaki juga senang minum kopi pahit.
“Ya, kan, emang bisu! Mana pernah juga orang itu ngomong. Malam ini aja kudengar dia bersenandung tak jelas. Eh, ngapain dia kau buatkan kopi? Nanti kebiasaan!”
“Kasihan, Bang. Lagi pula, dia tak pernah mengganggu atau ngamuk-ngamuk. Kurasa dia pun tak gila-gila amat. Bukannya Abang juga pernah cerita kalau dia bisa sembuhin penyakit orang? Artinya, dia suka membantu orang. Tak ada salahnya kita berbuat hal yang sama.”
“Tapi, melihat orangnya begitu, kita ya mesti waspada juga, Rum. Manalah bisa diduga orang gila, tuh.” Baihaki menyeruput kopinya sebentar.
Arum tak menyahut, wanita itu memilin ujung dasternya.
Baihaki yang melihat tingkah istrinya pun jadi mafhum. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku, kemudian menyerahkannya kepada sang istri. “Kerjaan belum dapat, Rum. Ini si Joni ngasih aku pinjaman. Katanya dia habis menjual jukung.”
Tangan Arum bergerak mengambil uang dengan perlahan, tapi di wajahnya masih tersirat sesuatu yang mengganjal. Matanya pun mulai berkaca-kaca.