Mantra Kuning

Rie Arshaka
Chapter #15

Naif

14



LANGIT malam begitu muram. Angin bukit membelai rambut Mantikei yang tengah duduk sendiri di serambi rumahnya. Tubuh lelaki itu sedikit menggigil, tapi dadanya terasa panas. Sejak ia pulang dari rantau dan mengetahui Danum telah pergi dari kampung mereka, Mantikei merasa dunianya semakin kacau.

Dulu, setelah Danum menolaknya untuk kali terakhir, lelaki itu mengira bahwa mungkin ia tertolak terus karena kehidupannya yang miskin, juga karena ibunya yang gila. Dan Danum hanya beralasan bahwa dirinya tidak bisa melupakan Harati, rivalnya yang telah mati itu. Oleh karenanya, ia tak berpikir panjang saat pamannya yang tinggal di Kandangan mengajaknya untuk bekerja sebagai ABK kapal perintis yang berlayar di daerah timur Indonesia.

“Tidak akan ada wanita yang menolak lelaki kaya dan sukses! Kerja di kapal, kita bisa mencari tambahan lewat berdagang. Di ujung timur, untung dagang bisa berlipat-lipat!” kata pamannya kala itu.

“Tapi, Ibu bagaimana, Paman?” Mantikei sempat merasa gamang.

“Jangan khawatir, ibumu akan ditunggui oleh istriku, ada pembantu juga di rumah. Tengoklah, Nak, ibumu pun akan sangat susah sembuh jika kalian masih berdiam di kampung belantara ini.” Pamannya terus membujuk. Ia adalah adik dari Hamen, nakhoda kapal laut yang sudah pergi berlayar sedari muda, dan jarang pulang ke kampung leluhurnya.

Mantikei akhirnya menyanggupi, lalu ia mulai berkemas setelah sempat ke rumah Danum sebentar. Namun, di sana lelaki itu hanya melihat Danum yang sedang duduk bersama ibunya dari jauh, tak sanggup kiranya untuk berkata pamit secara langsung. Ia tak ingin melihat mata Danum yang selalu berawan kelabu sejak Harati tiada.

Namun nyatanya, saat ia pergi berlayar, rindu kepada Danum seringkali datang menghampiri. Apalagi ketika malam menjelma, dan bulan penuh berwarna jingga terlihat anggun dari anjungan tempat ia duduk memegang kemudi. Bayang wajah Danum yang jelita menghantui Mantikei. Senyumnya, tangisnya, suaranya … hingga berkali-kali Mantikei meneriakkan nama gadis itu di dalam hati.

Sebenarnya, banyak sekali wanita yang mendekati lelaki itu, terlebih para penumpang kapal, juga para wanita tuna susila dekat pelabuhan yang ketika melihat wajahnya yang elok, siap sedia menjadi teman berkencan meski tanpa harus dibayar. Akan tetapi, sama seperti ketika ia masih di kampung, Mantikei bersikap sedingin salju terhadap semua perempuan lain. Yang ia mau hanya Danum seorang.

Bagi teman-temannya sesama pelaut, lelaki itu terlalu naif karena terus saja memeram cinta yang sebenarnya cuma bertepuk sebelah tangan.

Hampir dua setengah tahun, ketika kapal di-docking untuk perawatan rutin di Surabaya, Mantikei memutuskan untuk turun kapal (berhenti melaut). Ia pulang ke kampung sendirian karena ibunya masih betah berada di Kandangan.

Lalu, saat ia melewati rumah Danum, rindu itu kian menikam. Mantikei kemudian memberanikan diri mengetuk pintu rumah Danum dan mendapati kabar bahwa gadis yang selalu diimpikannya itu ternyata telah pergi merantau dan bekerja di perusahaan tambang batu bara.

Hingga di sinilah Mantikei duduk tepekur, di serambi rumahnya dalam kesunyian. Dalam sunyi itu ia mulai belajar sesuatu, jodoh dan maut adalah ketentuan dari Hyang Diwata. Mantikei tidak tahu pasti apakah Hyang Diwata mau berpihak kali ini, tetapi lelaki bertato itu masih punya hasrat untuk memperjuangkan Danum sekali lagi, untuk yang terakhir mungkin. Karena sekarang, hidupnya sudah berubah dan mempunyai banyak uang. Lagi pula, gila ibunya telah sembuh seperti sedia kala, walaupun masih bergantung pada obat-obatan dari rumah sakit.

Lihat selengkapnya