15
SIANG itu, Danum pulang ke kampung dengan hati gembira bercampur waswas. Rindu kepada orang tuanya diimbangi oleh rasa takut dan cemas. Bagaimana tidak? Ia datang bersama Syarifudin yang berkeinginan menjadikannya pasangan sehidup semati.
Setelah mereka berhasil bertemu dengan Arum dan Baihaki di kampung tepian, dua sejoli itu langsung berbalik arah dan pergi menuju kampung Danum yang dikelilingi hutan belantara.
Sesampainya di kampung Danum, tanpa banyak berbasa-basi, Syarifudin langsung meminta Danum kepada orang tuanya. Namun, karena lelaki itu adalah seorang muslim, keluarga Danum meminta waktu untuk memberi persetujuan. Mereka bilang, Hyang Diwata akan memberi petunjuk dua hari lagi. Menikah itu bukan hal yang mudah, apalagi jika berbeda agama dan adat istiadat. Lagi pula, mereka masih meragukan ketulusan hati pemuda asal Sumatera tersebut.
Kala itu, Syarifudin mafhum dan mengangguk saja, tapi dalam hati ia bersikukuh untuk bisa memiliki Danum. Bagaimanapun, rasa cinta telah tertancap kuat di hatinya. Cinta yang teramat sejuk, sesejuk udara di kampung Danum yang asri dan permai.
Ketika melihat cara keluarga Danum berdoa dan menyembelih hewan, Syarifudin sebenarnya paham betul akan perbedaan antara dirinya dan Danum. Ia tak menyalahkan siapa pun, tak juga marah walau nantinya Danum tak bersedia berpindah agama. Namun, yang jelas, ia mencintai Danum dan berniat ingin menjadikannya ratu dalam rumah tangga. Lelaki itu sudah pernah salat Istikharah demi mendapat petunjuk.
Akan tetapi, pada pagi yang syahdu, Danum mengajak Syarifudin ke sebuah tempat di mana gadis itu akan menceritakan sebuah rahasia. Sejak dalam perjalanan menuju kampungnya, Danum mulai berpikir untuk bicara jujur kepada Syarifudin. Bagaimanapun, kejujuran dalam cinta sangatlah diperlukan, dan orang-orang Dayak selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran, sama dengan menjunjung adat istiadat mereka.
Tempat yang dimaksud Danum itu letaknya lumayan jauh. Tempat itu adalah anak sungai yang penuh sejarah. Tempat ketika hati Danum berbunga atas nama cinta yang luhur di antara sulur dan akar-akar pepohonan. Tempat di mana ia dan Harati bermesra. Dan tempat ketika ia tiba-tiba harus kehilangan kemesraan itu layaknya langit yang terbelah dua tak lama berselang.
Kepada Syarifudin, panjang lebar Danum bercerita bagaimana Harati menghilang serupa halimun diganyang panas matahari. Lelaki yang merupakan cinta pertamanya itu pergi dan tak ada kabar sampai sekarang, setelah mereka memadu kasih berbulan-bulan. Air mata meleleh di pipi Danum saat menceritakan semuanya. Dan apa pun keputusan Syarifudin, akan ia terima dengan hati yang lapang.
Mendengar cerita Danum, Syarifudin terdiam sejenak. Lelaki itu seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia mengira bahwa Danum sedang berlakon saja, berkata hanya untuk menguji rasa cintanya. Akan tetapi, setelah air mata Danum tak juga berhenti, Syarifudin akhirnya yakin bahwa Danum tidak sedang berpura-pura.
“Sampai sekarang, apakah Harati tak pernah terlihat?” tanya Syarifudin.
Danum mengangguk. “Dia seperti hilang ditelan bumi.”
“Lalu, ayahnya bagaimana?”
“Aku tak tahu lagi kabar beliau. Dulu sempat kutanya, berkali-kali aku datang ke rumahnya di hilir, tetapi bapak itu kuyakini tidak berdusta atau berniat menyembunyikan anaknya. Harati memang hilang, pergi tanpa pesan apa-apa.”