17
KEGELAPAN menyelimuti kota saat segerombol orang berpakaian serba hitam dan tudung wajah berjalan mengendap-endap di dekat pagar sebuah rumah. Mereka adalah para perampok yang hendak menyatroni rumah milik seorang juragan perhiasan, Andi Wirawan.
Gerimis mulai turun ketika salah satu dari gerombolan terdengar berbisik pada salah satu rekannya, "Kalau kita ketahuan, habisi tanpa ampun!"
Rekannya yang bernama Maskur itu mengangguk dan terus mengikuti langkah orang yang berjalan di depannya.
Baron yang menjadi ketua mulai merapalkan ajian sirep sambil membakar dupa di bawah jendela. Membuat para penghuni rumah makin lena dibuai mimpi. Tak perlu waktu lama, mereka pun membobol jendela itu, kemudian mencoba masuk demi bisa menggasak semua harta di dalam rumah tersebut. Komplotan perampok yang sudah kerap beraksi di mana-mana itu ada empat orang: Baron, Sina, Umai, dan Maskur. Masing-masing dari mereka bersenjatakan pistol dan samurai.
Setelah berhasil masuk ke rumah, para perampok itu saling berbagi tugas. Dua orang di bawah, dua orang lagi naik ke lantai atas. Baron yang berada di lantai atas dengan santai membuka pintu kamar utama. Ia merasa yakin yang di dalam tak akan bisa bangun karena pengaruh ilmu sirepnya. Sementara Maskur tetap mengikutinya dari belakang sambil sesekali menatap ke sekeliling.
Tampak di ranjang, Andi Wirawan tengah tertidur. Satu tangannya memeluk mesra tubuh sang istri yang juga sedang tidur dengan pulasnya. Sementara sebuah cambuk berwarna hitam tampak terkulai lemas di dekat ranjang. Baron dan Maskur tak tahu apa guna cambuk itu.
"Fatma!" Maskur terdengar bergumam. Rona wajahnya langsung berubah ketika melihat wanita yang sedang tidur menyamping.
"Kau mengenal dia, Mas?" tanya Baron.
"Iya, tapi bukan siapa-siapa," ujar Maskur, wajahnya tampak tak yakin.
"Ah, ini sepertinya bonus kita!" Baron terlihat bernafsu saat gaun tidur Fatma tersingkap di bagian paha ketika wanita itu mengubah posisi tidur.
"Eh, jangan kau sentuh, Ron!"
"Kenapa?" Baron melotot. "Katamu dia bukan siapa-siapa?"
Maskur terdiam sejenak, jemari tangannya tampak terkepal dengan kuat. Baron melihat itu, tapi tidak peduli. Ia mulai mendekati ranjang. Mengelus wajah Fatma dengan perlahan. Seringai liar tampak keluar dari bibirnya yang hitam akibat keseringan merokok.
“Baron, stop! Dia Fatma, mantan kekasihnya Syarifudin. Aku tak mau berurusan dengan orang itu,” kata Maskur sambil berusaha mencegah Baron melangsungkan niatnya.
“Syarifudin? Sang Jagoan yang hilang tak ada kabar itu?”
“Bukan tak ada kabar. Kudengar dia sekarang di Kalimantan.”
“Ngapain?”
“Katanya kerja di tambang, jadi kepala keamanan. Oh, ayolah, Ron. Jangan diapa-apakan wanita ini. Nanti urusan bisa runyam!”
“Halah! Kan Syarifudin udah di luar pulau, ngapain takut?”
“Kau kan kenal bagaimana Syarifudin, Ron.”