18
ARUM meminta izin pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara Baihaki masih terbaring di atas tempat tidur. Mereka terpaksa bermalam di sebuah penginapan setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Namun, rasa lelah tak menghalangi libido Baihaki saat melihat Arum tidur dengan baju yang tersingkap.
Berkat bantuan Syarifudin, Baihaki dan Arum akhirnya bisa mendapat pekerjaan di perusahaan tambang. Rencananya, Baihaki menjadi sopir mobil sarana, sedangkan istrinya menjadi tukang cuci. Rumah mereka di kampung tepian terpaksa dikontrakkan kepada Haji Ijum untuk membiayai permasalahan ibu Arum—yang terbukti memang telah membunuh majikannya.
Kedatangan Syarifudin bersama Danum ke rumah mereka beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah tersendiri. Baihaki, yang dulunya gemar berjudi, mulai merenung setelah kejadian yang menimpa Arum dan ibu mertuanya. Cobaan berturut-turut itu ternyata membawa hidayah bagi lelaki itu.
"Apa yang Abang pikirkan?" tanya Arum kepada Baihaki setelah selesai membersihkan diri.
Baihaki yang sedang melamun tersentak, lalu menggeleng perlahan dan merangkul tubuh istrinya.
"Kira-kira besok, jam berapa kita sampai ke tambangnya, Bang?" bisik Arum.
"Entahlah, Abang pun tak tahu. Tapi, Syarif bilang kemarin butuh waktu hampir dua hari jika dari kampung kita. Kita sudah setengah jalan, kurasa besok siang baru kita sampai jika berangkat pagi-pagi. Alamat kantornya sudah kuingat, pun."
Arum mengangguk mengerti, lalu merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Baihaki. Keduanya terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Bagaimana kalau kita tidak cocok di sana ya, Bang?" ujar Arum, suaranya serak.
Baihaki tertawa kecil, mencium lembut kening istrinya. "Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja, insyaallah."
Baihaki kemudian menyuruh istrinya untuk tidur duluan, sementara ia ingin pergi ke toilet. Perut lelaki itu tiba-tiba terasa mulas, mungkin akibat makan nasi pecel pedas di perjalanan siang tadi.
Saat Baihaki baru saja masuk ke toilet di ujung lorong, ia mendengar suara langkah kaki seseorang dari luar. Penasaran, ia mengintip dari celah pintu dan melihat sesosok bayangan hitam berlari ke arah tangga menuju lantai dua. Baihaki heran, mengapa ada orang berlari-lari saat malam telah larut? Bukankah kata pengurus penginapan tadi, lantai dua tidak ada tamu yang menginap?
"Ah, masa bodohlah!" gumam Baihaki, memutuskan untuk mengabaikannya. Ia segera menyelesaikan urusannya, membersihkan diri sebentar, lalu kembali ke kamar.
Di kamar, Arum sudah tertidur pulas. Baihaki tersenyum dan berbaring di samping istrinya. Rasa kantuk telah menyergapnya. Tak lama kemudian, ia pun tertidur juga.
*
Pagi itu sangat dingin. Kabut tipis menutupi pandangan Baihaki saat ia dan Arum memulai perjalanan lagi. Jalanan yang mereka lalui sepi dan berkelok-kelok. Mereka tak melihat kendaraan lain yang melintas. Baihaki mulai cemas, tetapi ia terus melanjutkan perjalanan, berharap bisa sampai ke tujuan secepat mungkin.
Setelah beberapa jam, mereka tiba di alamat yang sudah dihafal Baihaki di luar kepala. Namun, di sana hanya ada bangunan tua, sebagian besar sudah roboh. Beberapa orang berjalan di sekitar bangunan itu. Ketika Baihaki dan Arum mencoba bertanya, mereka hanya diam seribu bahasa, lalu pergi meninggalkan pasangan suami istri itu dalam kebingungan.
Arum mulai panik ketakutan, sedangkan Baihaki tampak merenung. Mereka pergi ke alamat yang diberikan Syarifudin, tetapi malah menemui hal seperti ini.
"Abang tidak salah alamat, ‘kan?" tanya Arum dengan wajah pucat.
"Ini benar alamatnya, tak mungkin rasanya Syarifudin menipu kita kan, Rum?" ujar Baihaki sambil mengeluarkan kertas di mana Arum menyalin alamat dari surat yang ditulis Syarifudin. Lelaki itu mengira bahwa ia sedikit lupa. Namun, ketika membaca lagi alamat yang tertulis, Baihaki yakin ia tidak salah.
"Tak mungkinlah Syarifudin nipu kita, Bang."
"Tapi, kok tempatnya seperti ini? Lihat, di depan sana kayaknya hutan, Rum."
"Terus gimana, nih?" Tubuh Arum bergetar.