Mantra Kuning

Rie Arshaka
Chapter #21

Hantu di Kapal

20


KAPAL kayu yang hendak menuju Desa Terusan itu terlihat bergerak lambat. Cahaya kuning keemasan di kaki langit indah nian terpancar, menandakan malam akan segera tiba. Tak berapa lama ombak menerjang, azan Magrib berkumandang sayup-sayup dari arah surau yang berada di tepian sungai sebelah kiri. Seruan kemenangan itu didengar oleh Uwa Sabri, yang sejak beberapa saat tadi sudah menggelar sajadahnya di atas kabin anjungan.

Sementara Uwak Sabri menunaikan salat, kemudi kapal dipegang oleh sang istri, Aluh Itah. Mereka adalah sepasang suami istri yang berasal dari Nagara, dan biasa berlayar berhari-hari untuk menjual gumbaan dan alat-alat pertanian lainnya ke daerah-daerah terpencil—daerah Sungai Barito, kadang juga ke daerah sekitaran Sungai Kapuas.

Suasana mulai temaram dan Uwa Sabri sudah salat di rakaat kedua. Saat ia rukuk dengan khusyuk, tiba-tiba mesin kapal miliknya mati. Pria separuh baya itu tetap melanjutkan salatnya. Tak ia ketahui betapa pucatnya wajah sang istri ketika kapal sedikit terhempas setelah ombak menghantam lambung kanannya. Ombak memang sedang tinggi, angin kencang bergemuruh dan bisa membahayakan bila arah kemudi salah perhitungan, apalagi saat mesin mati seperti itu.

Ketika sudah selesai salat, Uwa Sabri langsung saja menuju ruang kemudi. Ia tak sempat berwirid lagi.

“Sebentar, Luh, biar kuperiksa mesinnya dulu. Kalau bisa arahkan kemudi kapal ke pinggir,” katanya kepada sang istri. Ia tahu bahwa Aluh Itah belum begitu lihai menyetir kapal.

Pria itu kemudian berjalan ke belakang, membuka papan-papan pintu ruang mesin dan mulai mengecek keadaan.

“Pompa airnya bocor, mesinnya mati kepanasan, Luh!” teriaknya dengan hanya kepala yang kelihatan.

Sang istri berteriak mengiakan. Setelahnya, wanita yang sedang datang bulan itu fokus mengarahkan kapal ke pinggir sungai. Untunglah, ombak mulai bersahabat. Pelan-pelan, kapal mereka akhirnya bisa memasuki simpang muara yang menuju Desa Terusan.

Sebuah makam keramat dengan pagar kayu yang dihiasi kain kuning berada tepat di simpang muara itu. Aluh Itah tidak tahu itu makam siapa, tapi ia pernah mendengar bahwa penunggu sungai di sekitaran makam tersebut adalah siluman buaya yang berilmu tinggi. Banyak koin emas kuno yang terpendam di dasar sungainya, kata seseorang yang punya mata batin, pernah bercerita kepada Aluh Itah dan suaminya. Aluh percaya saja karena apabila kapal mereka melintas di dekat makam itu pun, bulu kuduknya kerap merinding tanpa sebab.

Kapal mereka terus bergerak perlahan. Aliran sungai tampak tenang. Dan Uwa Sabri masih berkutat dengan pompa air ketika Aluh Itah melihat sesosok lelaki tanpa baju yang naik ke kapal mereka lewat dapra yang tergantung di lambung kiri. Dalam remangnya cahaya, wanita itu seperti melihat penampakan setan pencabut nyawa.

“Abahnya! Abahnya, ada orang aneh yang naik ke kapal!” teriak Aluh Itah dari ruang kemudi. Suaranya yang nyaring, didengar oleh sang suami.

Uwa Sabri langsung berhenti mengotak-atik pompa air. Dibereskannya kunci perkakas, kemudian bergegas keluar dari ruang mesin. Di haluan kapal yang hanya diterangi cahaya bulan, ia melihat seorang lelaki rebah tak bergerak.

Uwa Sabri kemudian memandang ke arah istrinya. Wajah Aluh Itah yang pucat dan seperti orang kebingungan, membuat Uwa Sabri urung untuk bertanya. Pria yang berkulit hitam karena terbiasa berada di bawah matahari manggantang¹ᵒ itu lalu berjalan ke depan, dengan hati waswas sebab menyangka lelaki asing tersebut adalah hantu penunggu sungai. Namun, setelah dekat, yang ia lihat adalah tubuh yang penuh dengan tato. Uwa Sabri pun mulai berpikir bahwa lelaki itu adalah manusia. Karena ia tahu, segala hantu, jin, dan setan di alas manapun, tak ada yang mau ditato.

Dada lelaki yang rebah telentang itu bergerak ritmik, matanya terbuka, dan napasnya memburu. Ia melirik sekejap ketika melihat Uwa Sabri yang berdiri di dekat kakinya, tapi bergeming setelah itu.

“Kau siapa? Tadi naik lewat mana? Berenang? Mau merampok? Kami ini orang miskin!” Uwa Sabri memuntahinya dengan banyak pertanyaan.

Lelaki itu duduk. Mulutnya meringis. Matanya tiba-tiba bersinar aneh. “Minta kopi pahit, Mang!” katanya.

Uwa Sabri merasakan darahnya berdesir hebat. Pria separuh baya itu merasa takut seketika sebab yang ia tahu, kopi pahit adalah minuman pedatuan¹¹. Namun, tanpa menjawab, ia kemudian kembali ke tempat Aluh Itah berdiri.

Lihat selengkapnya