Mantra Kuning

Rie Arshaka
Chapter #22

Aroma Kematian

21


Akan kututurkan kepadamu sebuah cerita, sebuah peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lampau. Di rimba belantara ini, di mana akulah sang penguasa dari hulu ke hilir. Akulah Dayu, si Amot Bujang, satu nama yang membuat hati orang-orang gunung berdentum-dentum. Mereka ketakutan. Para orang tua menakuti anaknya dengan menyebut namaku. Lalu, namaku menjelma menjadi dongeng para leluhur setelah aku menghilang, berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Tersebab kau adalah orang yang kupilih, sudah kuanggap cucu meskipun kita tak serumpun, jadi simak dan resapi baik-baik ceritaku ini.

Kau berasal dari rahim ibu yang tersesat, yang berlari dari rumahnya sebab menanggung malu. Wabah penyakit kemudian datang menghampirinya, termasuk kampung asal tinggalnya. Ayah-ibunya mati dengan bisul-bisul di tubuh, begitu pula dengan sebagian orang di kampung tersebut. Ibumu itu bernama Nara Wangi. Ia cantik bestari dan mengingatkanku pada Seruni Djingga, mendiang putriku tersayang. Aku menolong Nara ketika ia melahirkanmu dalam keadaan bungkus.

Kau adalah manusia tangguh! Kau akan menjadi panglima besar! Beberapa bulan ini, aku sudah melatihmu dengan mantra kuning. Tak ada yang bisa melukaimu lagi, kecuali aku tak terjaga. Kau mewarisi sebagian ilmu nan digdaya dariku. Lewat air ludah yang kusatukan.

Dahulu ketika langit mambang kuning, kau terkena sumpit beracun dari seorang lelaki yang memendam kebencian. Kepala dan dadamu terluka oleh racun, lalu kau dibuang ke suatu jurang. Kau linglung setelah kusembuhkan luka itu. Kau berjalan terlalu jauh dan keluar dari hutan kekuasaanku. Dan kutemukan kau di kapal kayu, di sungai asing yang keruh dan berbau. Hari ini, kau harus pulang dan menemui Djata, Harati. Aku sudah mengembusmu dengan mantra semangat agar ingatanmu kembali seluruhnya.

SETELAH membaca surat itu, Harati menatap kupu-kupu di hadapannya, hinggap di sudut meja, sayapnya bergetar lembut seperti napas terakhir seseorang. Coraknya, lingkaran-lingkaran kecil, seperti lubang waktu. Seketika, segala sesuatu dalam kepalanya berkelindan. Mata Harati menyipit. Seruan dari jauh terdengar samar, dan wajah Mantikei melintas dalam ingatannya seperti bayangan berapi di antara kabut.

"Dasar pengecut," gumam Harati. Suara itu keluar begitu saja, seolah bukan dirinya yang bicara.

Ia bangkit dengan gelisah, membuka pintu pondok yang sudah ditinggalinya selama berbulan-bulan. Pohon-pohon berdiri seperti raksasa yang diam, dan langit magrib melambai di atasnya, sewarna permen kapas, pekat dan penuh tipu daya. Awan bergerak seolah para dewa sedang bermain-main, menggiringnya karena bosan dengan keteraturan.

"Buwe Dayu! Kau di mana?" teriaknya, tapi hanya angin yang menjawab, memecah keheningan hutan.

Harati berputar-putar di sekitar pondok, tapi Buwe Dayu tak tampak. Hanya bayangan dirinya sendiri yang menari di antara pohon-pohon, terseret ke mana angin bertiup. Mengetahui gelap mulai datang, Harati lalu berpikir ke mana ia harus berlari. Ia ingat Danum dan tempat di mana mereka terakhir bertemu. Ia ingat Arum dan Maimunah. Ia juga ingat, rumah kecil dengan asap tebal di pekarangannya yang membumbung tinggi.

*

Malam datang tanpa suara. Tidak ada cahaya bulan, hanya bintang yang memancar di matanya, matanya yang bersinar dengan cahaya yang tak alami. Langit berwarna hitam, dengan angin yang mendesir di antara dahan-dahan, membuat hutan berbisik seperti seribu roh yang terperangkap. Namun, tidak ada ketakutan di hati Harati. Ketakutan adalah hal yang ia tinggalkan di masa lalu, di jurang tempat ia hampir mati.

Ia berlari cepat, begitu cepat sehingga tanah tampak melayang di bawahnya, dan sebelum ia menyadari, rumahnya sudah berdiri di hadapan, siluetnya tampak samar di tengah pekatnya malam. Kerinduan meremas dadanya. Ia dorong pintu rumah dengan cepat, melangkah masuk ke dalam sunyi.

Udara terasa berat. Tak ada orang yang melihatnya pulang. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri, yang berdetak bagai genderang ketika ia menginjak lantai kayu rumah itu.

Lihat selengkapnya