22
MANTIKEI merangkak di lantai kamar, tanpa bisa menggerakkan kakinya dengan benar. Mabuk anggur mencegah lelaki itu untuk berdiri. Perlahan, ia terus saja merangkak, satu tangannya membelai udara. Tiba-tiba, wajah Danum dengan senyum merekah tercetak samar di dinding kamarnya. Lalu, senyum itu berganti dengan tangisan. Ia melihat, Danum menangis dengan air mata darah.
"Sampai mati pun aku tetap mencintaimu, Danum!" gumam Mantikei seiring serdawa dan muntahan sisa anggur yang keluar dari mulutnya. Nyatanya, keadaan Mantikei tak lebih baik dari hari kemarin, meski telah beberapa kali ia coba meyakinkan hati untuk bisa melupakan Danum.
Malam itu, Mantikei masih begitu berat membuang rasa kecewa. Segala kenangan dan penolakan Danum berlompatan di kepalanya. Berbulan-bulan sudah Danum pergi dan menikah dengan Syarifudin, tapi rasa sakit itu tetap saja membelenggu. Bayangan masa lalu berkelebat di pikirannya. Ia dan Danum, duduk di kebun ilalang, tertawa di bawah matahari senja yang membakar langit dengan warna-warna jingga. Saat mereka naik lanting, air sungai berkilauan, cerminan impian-impian yang tak pernah terwujud. Semua itu kini hanyalah memori, seolah hanyut bersama sungai yang mereka lalui bertahun-tahun lalu. Tetapi cinta Mantikei tak ikut hanyut. Cinta itu masih ada, mengalir dalam darahnya, meskipun kini menjadi racun yang membunuh.
"Aku tidak pernah mencintaimu."
Gaung suara itu membuat Mantikei terpaku. Itu suara Danum yang pernah didengarnya dahulu. Mata lelaki itu liar memindai sekitar. Wajah Danum di dinding tak terlihat lagi. Mantikei pun menjadi putus asa.
"Seharusnya kau menerima cintaku," ucapnya dengan lirih. "Dan kau, Syarifudin, seharusnya kau turut kulenyapkan saja tempo hari!”
*
"Aku sendiri bingung dengan cara berpikirmu, Mantikei," ucap Amran sembari memandang Mantikei yang baru selesai bercerita.
Mantikei yang duduk di samping lelaki itu hanya bergeming. Wajahnya tampak tak bersemangat saat menyeruput kopi hitamnya. Ini sudah kesekian kalinya dua lelaki yang merupakan teman nongkrong di Kota Kandangan itu duduk mawarung¹⁵ bersama-sama. Bercerita banyak hal: luka, cinta, keterpurukan, serta hidup yang terasa membosankan.
"Ya, tapi kenapa?" kata Mantikei. "Kenapa terlalu susah untuk melupakannya?"
"Mungkin karena kau terlalu mencintai wanita itu, Mantikei, atau karena kau sangat terobsesi padanya," jawab Amran.
"Dan belum berakhir meskipun ditinggal kawin. Atau, apakah karena aku pernah bersumpah untuk bisa memiliki Danum?" Mantikei meraup wajahnya perlahan.
"Apa yang menjadi sumpahmu tak perlu dilakukan. Cobalah untuk bersikap peduli setan dengan sumpah!"
"Tapi ...."
"Lihat, Mantikei, banyak wanita lain di kota ini. Yang cantik dan seksi. Sebaiknya lanjutkan saja hidup. Ha-ha-ha. Walau hidup terasa membosankan!" Amran coba meyakinkan walau lelaki berambut tebal itu sebenarnya sadar, ia tak akan bisa mengubah pemikiran teman barunya yang datang dari jauh itu.
Hening.
Kemudian, tampak mata Amran tertuju kepada Sarinah, seorang janda muda yang kebetulan lewat di depan mereka karena hendak pergi berbelanja ke toko sebelah. Telunjuk kiri Amran terangkat ke bibir, memberi satu isyarat yang nakal.
Sarinah yang hanya melintas tanpa berniat menyapa dua lelaki itu terlihat mengangguk malu. Sarinah tentu masih sangat ingat keindahan malam kemarin, ketika ia diantar pulang oleh Amran lalu hujan deras turun, lalu mereka berteduh di salah satu rumah kosong. Ya, saat itu Sarinah merasa hidup memang tidak sepenuhnya membosankan, apalagi ketika Amran mencium pipinya, bibirnya, lalu bertingkah laksana kuda liar yang mencumbu betinanya.
“Tapi, tidak ada yang secantik Danum!” Mantikei bergumam, mengalihkan perhatian Amran.
“Cantik itu relatif,” sahut Amran sambil menggeleng pelan. Ia lalu mengalihkan pembicaraan, “Hm, ngomong-ngomong, siang ini kau jadi mudik, lah, Mantikei?”
“Jadi, ibuku minta pulang sekejap. Katanya rindu rumah.”
“Oh, hati-hati di jalan. Kudoakan semoga kau mendapat jodoh terbaik. Dapat di sini atau di kampungmu nanti, terserahlah.”
Mantikei terdiam.
“Aku mau kerja dulu. Nanti kopimu biar aku yang bayar, eh, kau makan apa saja tadi?” ujar Amran.