25
Dan dada ibu bernyanyi, sekian purnama, anak lelakinya telah merajut kepingan bakti. Dan dada ibu bersyukur, sekian purnama, anak lelakinya telah sanggup merawat sabar
DAHULU, cintanya terhadap Danum seanggun mentari pagi—setidaknya bagi Mantikei—tetapi sore itu sisi kebinatangannya seolah datang menjelma. Di dalam separuh sadarnya selepas menenggak anggur merah, Mantikei hampir saja menindih tubuh Danum yang geletak tak berdaya.
Kala itu, dengan tangan gemetar, ia sudah berhasil membuka kancing baju bagian atas. Dada Danum tampak membukit dan sungguh memanjakan matanya. Mantikei menelan ludah sesaat, lalu bergerak hendak mencium bibir wanita itu. Akan tetapi, seketika ia tersentak saat terdengar suara auman yang menggelegar.
“Seorang anak ingin mengikuti jejak ayahnya. Sungguh memalukan!” Suara nan parau kemudian terdengar di telinga Mantikei. Namun, ia tak melihat siapa sosok yang telah berseru itu. Mantikei berdiri, lalu berteriak, “Ka-kau siapa? Keluarlah cepat!”
“Sungguh tak tahu diri. Kau pengecut seperti ayahmu!” Suara itu terdengar bergaung dari pucuk pohon yang jauh.
“Keluarlah! Kenapa berani-beraninya menghina ayahku?” Ada sedikit gentar di hati Mantikei saat mengatakan itu. Terang saja, suara tawa itu cukup memekakkan telinga, meskipun orang yang melantangkannya tiada tampak dan seperti berada di kejauhan.
“Dasar pengecut! Katanya cinta mati, tapi mau jadi pemerkosa!”
“Apa, jangan sok tahu! Ayo keluar, tampakkan dirimu!” Mantikei memegang hulu mandaunya, berdiri tegak menghadap ke asal suara.
“Kau keluar dari garba ibumu, harusnya kau bisa menghargai wanita! Apalagi wanita itu adalah orang yang kau cinta. Bodoh sekali kau!”
Mendengarnya Mantikei jadi tertegun sejenak. Siapa pun sosok yang berbicara dari jauh itu, perkataannya adalah benar. Ia lalu mengira sosok itu adalah penjelmaan roh leluhur yang datang dengan maksud hendak menegurnya. Tapi, roh siapa?
Mantikei berdiri kaku. Angin bukit membuat daun-daun luruh. Ketika satu daun kering jatuh di atas kepalanya, ia sibuk merenungi kesilapan. Dan, suara roh leluhur itu tak terdengar lagi saat lelaki itu memandang nanar ke arah Danum yang masih tak sadarkan diri.
*
Bulan samar-samar menggantung di atas bukit. Gema suara binatang malam terdengar bersahutan kala Mantikei duduk di teras rumahnya. Ada rasa sesal yang tertanam di hati lelaki itu, sesal yang teramat dalam, sesal akan cinta kasihnya kepada Danum yang hampir saja ternodai oleh nafsu yang jahil.
Di tengah kesunyian, lelaki itu semakin dalam merenung. Ia coba menyusun kembali puzzle-puzzle yang terserak. Ia renungi segala ketololannya selama ini. Ia sesali kejahatannya kepada Harati. Ia pikirkan tentang takdir cinta yang jelas-jelas sudah ketentuan dari Hyang Diwata—tak bisa dilawan.
Mantikei sungguh tidak ingin seperti ayahnya. Tadi siang, ibunya telah bercerita kalau ternyata ayahnya adalah mata keranjang dan kurang bertanggung jawab sebagai seorang lelaki.