26
SUARA rintik hujan yang menerpa atap rumahnya terdengar ribut. Danum menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Malam itu, ia terus gelisah meskipun tidak lagi sendirian—Baihaki dan Arum ada di kamar sebelah, dan Danum mengira mereka sudah tertidur.
Petir menggelegar, membuyarkan lamunan Danum. Ia terkejut hingga berteriak. Untunglah, Arum belum tertidur. Arum langsung mendatangi kamar Danum dan mencoba menenangkannya. Arum bersedia menemani Danum di kamarnya sampai pagi, katanya tadi sudah diizinkan oleh Baihaki.
Dua wanita yang berbeda perangai itu lalu berbaring tidur di satu ranjang. Arum tahu Danum sedang khawatir memikirkan Syarifudin. Ia sangat menyayangi istri sepupunya itu karena Danum memperlakukannya dengan baik di rumah mereka, meskipun Danum adalah sosok yang pendiam dan lebih suka berada di kamar.
Mereka sama-sama mencoba untuk tidur. Malam semakin larut, tapi hujan belum reda. Tiba-tiba, tanpa sadar, Arum bersenandung lagi, senandung yang sama seperti dulu. Suara Arum lirih, seperti berbisik:
“Wahai, Dewi Bulan, takdir maambitku bakaliaran, ka kanih kate. Bara sungei kan sungei, hutan-hutan belantara. Huang batas je kaput, aku ingragap awi. Metuh hamalem manganlun mantra, aku mananture mata je ngambutep. Danum mate manjatu kilau embun. Nihau kejora, nihau kea semangatkuh, manggitan jikau!”
“Wahai, Dewi Bulan, takdir membawaku berkeliaran, ke sana sini. Dari sungai ke sungai, hutan-hutan belantara. Dalam batas yang gelap, aku dipeluknya. Ketika suara malam mengalunkan mantra, aku melihat matanya terpejam. Air mata jatuh serupa embun. Hilang kejora, hilang semangatku, menampaki itu!”
Danum terhenyak, merasa dejavu. Ia tahu senandung yang dinyanyikan oleh Arum. Itu adalah senandung Harati. “Kau bisa bahasa Dayak, Rum?” tanyanya.
“Ah, tidak.” Arum tersadar, berhenti bersenandung. “Memang kenapa, Danum?”
“Itu bisa. Barusan kau bersenandung pakai bahasa Dayak.” Danum mengangkat kedua alisnya.
“Oh, itu senandung si lelaki gila ….”
“Lelaki gila? Yang dibunuh di sungai?”
“Iya. Entah kenapa aku selalu ingat senandungnya Ate.”
“Ate?”
“Nama lelaki itu Ate, orang-orang di kampung tepian menyebutnya begitu. Menurutku sih dia bukan gila sembarang gila, Danum. Dia bisa menyembuhkan penyakit orang. Hanya sayang, ya … begitulah!” Dada Arum terasa nyeri tiba-tiba. Terlintas lagi ketika Ate merangkulnya. Bingung, terkejut, dan rasa takut bercampur jadi satu di benak Arum ketika itu.
Danum terdiam. Ingatannya berputar ketika dulu ia bersama Syarifudin datang ke kampung tepian untuk kali pertama. Ia terbayang tangisan Arum dan amarah Baihaki saat dirinya baru saja menginjak rumah mereka. Danum dan Syarifudin datang memang di saat yang kurang tepat. Apalagi lelaki yang ingin menggagahi Arum ternyata satu suku dengannya. Danum sempat merasa sangat tidak nyaman.
“Tidurlah, Danum. Maaf tadi malah mengganggumu,” ujar Arum, membuat Danum yang melamun jadi tersadar.
Danum mengangguk ragu-ragu, tapi kantuknya belum mau datang hingga deru suara mobil terdengar nyaring dari luar rumah. Danum mengenali suara itu. Ia lalu bergegas bangun dan pergi membuka pintu.
Syarifudin ternyata sudah pulang, berdiri dengan tersenyum dan merentangkan kedua tangan. Melihat itu, Danum terpaku sejenak, lalu air matanya tak terbendung lagi saat berlari ke pelukan suaminya.
“Kita akan mulai dari awal,” ujar Syarifudin sambil mengelus rambut Danum, menyeka air matanya, lalu mengajaknya masuk ke rumah.
Dengan santai, Danum mengikuti langkah suaminya. Saat mereka sudah berada di ruang tengah dan duduk di kursi tamu, wanita itu jadi teringat tentang isi surat di dalam lemari. Hatinya lalu dilanda bimbang. Dan itu tergambar jelas di raut wajahnya yang pucat.
Syarifudin mengira kalau Danum masih memikirkan peristiwa di tepian sungai bersama Mantikei. “Mantikei bilang dia tidak melakukannya,” kata Syarifudin. “Lelaki itu sudah bersumpah demi nama Tuhan dan ibunya.”
Danum tak menjawab. Ia sibuk melamun.
“Danum,” panggil Syarifudin. Lelaki itu mengernyitkan dahi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Kenapa wajahmu kusut begitu, apa belum makan?”
“E-eh, iyaa!” Danum tersadar.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Tidak apa-apa,” kata Danum.
“Hm, masih marah karena aku pergi?”
“Tidak ….” Danum memaksa senyum. “Sayang, tunggulah di sini, akan kuambilkan minum untukmu.”
Danum berjalan menuju dapur, mengambil sekotak susu dan kue pisang goreng bikinan Arum. Kue itu sudah dipanaskan berkali-kali hingga warnanya tak elok lagi. Kemudian, ia kembali ke ruang tengah, tapi Syarifudin tak terlihat.
“Aku tadi dari mobil, mengambil peralatan!” Tiba-tiba, Syarifudin ada di belakang Danum, datang dari balik pintu.
Danum terkejut hingga akhirnya jadi latah. “Eh, Fatma!” serunya.
Mendengar itu, Syarifudin terkesiap. Ia tidak jadi memeluk Danum. “Fa-fatma? Kau membuka lemariku, Danum?”
Danum merasa serba salah. “Lemari itu terbuka sendiri.”
“Kau membaca surat itu?”
“Hm, iya.” Danum berusaha menyembunyikan perasaannya. Sebenarnya, ia menyimpan cemburu. Danum juga merasa takut apabila Syarifudin mendadak murka karena ia telah lancang melanggar perjanjian mereka kemarin, yang harusnya saling menghormati privacy masing-masing.
Untungnya, Syarifudin tidak mau memperpanjang perdebatan. Di perjalanan tadi, ia sangat merindukan Danum. Dan ingin segera membayar kerinduannya itu sampai tuntas malam ini. Lelaki itu menyesal karena sudah bersikap keras terhadap istrinya.
“Sayang, aku mau memberitahu kabar gembira!” bisik Danum, ketika melihat suaminya itu berdiri mematung saja.