Epilog
"Apa yang kau inginkan sebelum ajal menjemput, Danum?"
DI luar jendela ruangan itu, pohon-pohon kering meranggas, rantingnya melambai di bawah langit kelabu yang suram. Danum bisa mendengar sayup-sayup suara langkah kaki perawat di lorong, suara lembut roda troli yang menggulung pelan di lantai keramik. Ruangan kecil itu hanya dilengkapi tempat tidur tunggal dengan sprei putih yang selalu terasa terlalu dingin, dan sebuah kursi yang terletak di sudut ruangan. Jendela kecil di atas tempat tidurnya adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa mengintip dunia luar, dunia yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau.
Sejak kepergian Syarifudin, Danum merasa seperti hantu yang mengembara. Ia terkungkung dalam sunyi, tanpa tujuan, tanpa arah. Setiap hari terasa seperti pengulangan hari sebelumnya. Langkah-langkah kakinya tak lagi berbunyi, suaranya menghilang, tenggelam dalam sunyi yang mencekik. Ia berlari, berlari, dan berlari dalam pikirannya, mencari sesuatu yang tak pasti, sesuatu yang samar. Dan mungkin saja, apa yang ia cari selama ini adalah jawaban atas pertanyaan itu, tentang apa yang ia inginkan sebelum mati.
Sesungguhnya, Danum ingin sekali menghapus semua kenangan yang orang lain miliki tentang dirinya. Ia tak ingin mereka menemukan surat cinta yang ia tulis untuk Syarifudin, surat yang penuh dengan kata-kata yang tak pernah sampai. Surat-surat itu adalah bagian dari dirinya yang paling rapuh, tempat ia menuangkan perasaan terdalam yang tak pernah ia sadari bisa begitu menyakitkan.
Mengapa Danum lebih memilih untuk dilupakan saja? Karena ia lelah. Lelah dengan kisah hidup yang tak lagi bermakna. Hidup tanpa Syarifudin seperti hidup tanpa bayangan, seperti berjalan di atas kaca tipis yang bisa pecah kapan saja. Setiap langkah terasa salah, setiap keputusan terasa ambigu. Ia tak ingin menambah beban waktu, meskipun kesempatan itu datang menghampiri. Ia takut kata-katanya, pikirannya, disalahartikan. Ia takut orang-orang mengira ia tak lagi percaya pada takdir, bahwa kesunyiannya adalah bukti penolakan atas tragedi masa lalu. Ia takut mereka tak mengerti bahwa ia mencintai Syarifudin, mencintainya dengan segenap jiwa.
Bayangan Syarifudin selalu menghantui setiap inci pikiran Danum. Senyumnya yang lembut, suaranya yang selalu menenangkan, kini hanya tinggal kenangan yang memudar. Danum mencoba mengingat detail wajahnya, garis rahangnya, bentuk matanya, tapi semakin ia coba, semakin kabur bayangan itu. Rasanya seperti mencoba menggenggam air—semakin erat ia menggenggam, semakin cepat menghilang.
"Jika kau mengetahui bahwa kau akan mati dalam beberapa jam, hari, atau bulan, apa yang akan kau lakukan, Danum?"
Dengan perlahan Danum berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang retak, mendengarkan suara hujan yang menghantam jendela kecil dengan irama yang kacau. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan setiap tetes hujan yang jatuh, seolah-olah mereka adalah air mata yang menetes dari langit, menangisi nasibnya yang getir.
Di dalam hatinya, ada keinginan untuk menyerah, untuk membiarkan diri larut dalam kegelapan, untuk tidak pernah bangun lagi. Namun, ada juga rasa takut yang menghantui, rasa takut akan ketidakpastian, rasa takut akan apa yang ada di balik pintu kematian. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika ada sesuatu yang lebih di luar sana, sesuatu yang belum pernah ia lihat, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa sakit dan kehilangan?