MANTRA MERAH

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #1

INGATAN MERAH ~ 1

Lewat bisikan, aku menyuruhnya menuliskan ingatan hari-hari terakhir hidupku sekaligus mengabadikan masa kebersamaan yang seharusnya indah bersamanya. Seseorang yang pada akhirnya kupanggil Le.  

*** 

Tanda silang kedua belas sudah kucoretkan di kalender partai beringin bertahun 1998. Bukhari, suamiku belum kembali. Tanpa kabar pula. Biasanya dia selalu menyempatkan menelepon ke rumah Pak Ali—kepala desa kami—kalau bepergian lama ke luar kota.  

Tiga hari sekali aku datangi rumah Pak Ali yang jaraknya sekitar lima belas menit jalan kaki dari rumah. Hanya sekadar tanya, apa suamiku sudah menelepon? 

Di kampung ini, satu-satunya orang yang punya telepon hanya Pak Ali. Nyaris setiap hari selalu ada warga yang mengantre menunggu telepon dari sanak keluarga yang jauh. Pemandangannya mirip di wartel dekat pasar induk. 

Kondisi itu menguntungkanku. Pak Ali tidak akan banyak bertanya padaku karena sibuk bercakap-cakap dengan warga yang menunggu giliran pegang gagang telepon. Baru setelah empat kali aku berkunjung ke rumah Pak Ali, laki-laki enam puluhan tahun itu mengajakku masuk ke ruang tamu dan mulai menanyaiku. Kebetulan waktu itu baru aku yang berkunjung ke sana. 

“Bukhari belum pernah telepon sama sekali. Memangnya dia ke mana?” Entah karena apa, suara Pak Ali sengaja dilirihkan padahal tidak ada orang di situ. 

“Dimintai tolong orang, Pak.” 

“Nyuwuk?” 

“Nggeh, Pak. Nyuwuk sapi di kota sebelah.” 

Pak Ali hanya manggut-manggut. Mulutnya kelihatan ingin mengucap sesuatu tapi ditahan. 

Sebenarnya orang-orang di kampung sudah tahu pekerjaan Bukhari selain bertani singkong. Dia tukang suwuk. Tapi kadang Bukhari juga jadi dukun sapi. Ilmunya itu turunan dari almarhum mbah lanangnya dulu. 

Lihat selengkapnya