Subuh baru turun. Pintu belakang rumahku diketuk cepat berulang kali. Suamiku, cuma itu yang terlintas di pikiranku. Tapi bukan wajah suamiku yang muncul di sana. Yu Darsinah, tetanggaku itu langsung memelukku sambil sesenggukan.
“Kenapa Yu?”
Kekalutan Yu Darsinah itu menular padaku. Pikiranku sudah mengarah pada hal-hal buruk soal Bukhari. Mulai mendengar berita pembunuhan itu, aku seperti haus untuk mencari pemberitaan serupa. Sehari semalam pekerjaanku berubah jadi pendengar setia warta radio yang berujung pada bayangan-bayangan menakutkan tentang nasib suamiku.
“Dik Merah ... tulungono aku. Itu ... si ragil tadi kendat[1].”
Kepalaku serasa diguyur air panas. Aku membawa Yu Darsinah duduk di lincak dapur. Tubuhnya masih gemetar. Tangisnya belum ada tanda-tanda berhenti. Wajar, ibu mana yang tidak syok dengan kenyataan anaknya gantung diri subuh-subuh begini.
Yu Darsinah dengan tersengal-sengal bercerita jika dia menemukan anak bungsunya menata tali gantungan di pohon belakang rumah waktu dia akan menimba air sumur sekitar jam tiga pagi. Sewaktu Yu Darsinah meneriaki putrinya, yang terjadi malah kepala anaknya dimasukkan ke dalam lubang tali dan tumpuan tempatnya berdiri ditendang menjauh. Tubuh itu menggantung disertai jeritan panjang Yu Darsinah.
“Anakku memang selamat, Dik. Tapi dia terus-terusan ngomong kepengen mati.”
“Ragilmu itu punya masalah apa Yu sebenarnya?”
Yu Darsinah berbisik, “Anakku hamil. Pacarnya minggat sama wedokan lain. Ini suamiku sudah emosi mau mbacok pacarnya anakku itu. Tapi kalau bisa diselesaikan cara halus kan lebih enak. Ndak perlu ada korban. Tolong gantetkan [2] mereka ya Dik. Bisa kan?”
Sepasang anting di telinga Yu Darsinah dilepas, diserahkan padaku. Begitu juga cincin bermata merah di jari manisnya dan sebuah foto seorang pemuda berjaket loreng. “Kalau kurang ngomong ya, Dik.”
Kuterima foto darinya tapi kukembalikan perhiasan itu pada genggaman Yu Darsinah. “Bawa dulu, Yu. Tak usahakan mbantu semampuku. Tapi berhasil tidaknya kembali ke seng nggawe urip [3] ya. Kasih aku waktu seminggu.”
“Ya kalau bisa jangan lama-lama Dik. Kamu ndak tahu rasanya punya anak. Apalagi anak wedok. ”
Sungguh, setiap kali ada orang mengatakan kamu ndak tahu rasanya punya anak, saat itu juga tulang-tulangku melebur dan tak bisa menyangga tubuh. Aku bersandar di gedek dapur. Helaan napas beratku terdengar Yu Darsinah hingga dia menutup mulutnya, sadar jika ucapannya mencabik-cabik dagingku yang mulai kisut di akhir kepala empat.