Pasar sudah jadi tempat berbagi ketakutan. Mulut-mulut di sana ternyata lebih banyak membicarakan cerita soal pembunuhan dukun santet dibanding berita di radio. Yang terbaru bukan hanya seorang yang dibantai, tapi seluruh keluarganya diikat dan diseret dengan sepeda motor hingga kulit mereka terkelupas, baru mereka diikat dan dihantami dengan batu. Bulu kudukku berdiri. Manusiakah para pembunuh itu? Benarkah cerita itu?
“Yu, hati-hati. Katanya bukan cuma dukun santet saja korban pembunuhannya. Tapi tukang nyarang hujan juga jadi korban. Bojomu larang dulu nyuwuk pasien. Sampean juga. Biar mereka lari ke dokter.” Ucapan Nariyah, penjual pecel di sebelah lapakku menambah besar rasa kekhawatiranku.
Tiga puluh tujuh hari sudah aku berada dalam kebimbangan. Mencari Bukhari bukan sesuatu yang gampang. Merebaknya cerita pembunuhan itu membuat siapa pun takut bepergian jauh. Apalagi sendiri.
Sebenarnya surat yang diterima Bukhari masih kupegang, tapi surat itu tanpa tanda pengenal. Bukan pak pos yang mengirimkannya, melainkan seseorang yang mungkin disuruh penulis surat itu. Siapa yang menyuruh Bukhari, aku tak tahu. Saat itu aku tak berani mendesak suamiku untuk mengatakannya. Dia pun seperti sengaja menutupinya.
Surat itu baru berani kubaca setelah Bukhari pergi. Di dalamnya hanya berisi pemberitahuan acara aduan sapi di tempat biasanya pada tanggal 6 Agustus. Bukhari diminta membantu memberi pagar gaib pada sapi yang dinamai Muhammad Ali, juga pemandu sapi aduan itu.
Bukhari tidak pernah bercerita soal tempat aduan itu meski sudah bertahun-tahun terlibat. Dia hanya bilang di sana arena panas. Tempat perjudian orang-orang berpangkat yang mempertaruhkan gengsi dalam wujud kemenangan seekor sapi. Tapi orang-orang biasa melihatnya sebagai hiburan rakyat, sebuah kedok untuk melestarikan budaya. Masalahnya, adu gengsi di sana berbaur dengan magis dan Bukhari terlanjur terjebak di sana hanya karena nama besar mbah lanangnya.
Dalam satu tahun, biasanya ada dua sampai tiga kali pertandingan. Jika mendapat panggilan, Bukhari selalu datang seminggu sebelum hari aduan dan kembali sehari setelah acara usai. Memang pernah sekali waktu Bukhari pulang tiga hari setelah acara aduan. Itu karena seluruh badannya terasa remuk semua. Pagar gaibnya bisa dihancurkan lawan. Sebenarnya kekalahan yang dirasakan sapi dan pemiliknya, lebih banyak berimbas pada tubuh suamiku.
Pikiranku terus menggambar sesuatu yang buruk terjadi pada Bukhari. Apa dia ikut terciduk aparat yang membuyarkan tempat judi sapi itu? Atau dia kalah dari lawannya dan .... Aku tak berani menggambarkan.
Kepergian Bukhari sudah di luar batas waktu. Mungkin Pak Ali sebagai kepala desa bisa menemaniku mencari Bukhari. Harusnya dia bertindak saat tahu ada warganya yang menghilang. Nyatanya, dia malah melarangku menemuinya. Bahkan beberapa kali ketika aku datang ke rumahnya, Bu Ali selalu mengatakan suaminya sedang rapat di kantor kecamatan. Aku berhak menuntut janji Pak Ali yang akan memberi kabar soal Bukhari.
Dagangan tiwulku masih seperempat bakul, tapi aku mulai mengemasi semuanya. Kepalaku terus-terusan bersuara supaya aku segera ke rumah Pak Ali. Nariyah bertanya kenapa aku kesusu pulang? Belum sempat aku jawab, ada dua laki-laki tinggi besar datang membeli tiga porsi nasi tiwulku. Terpaksa kulayani mereka dulu.
“Lauknya apa Mas? Wader, ikan asin, apa cakalang bumbu?”
“Cakalang, Bu.”
“Urapnya daun kates apa telo?”
“Campur.”
Saat aku masih membungkus pesanan, satu dari mereka mendekat dan bertanya, “Bu, maaf nih mau tanya, tahu dukun pelet yang tokcer di daerah sini?”
Tanganku berhenti. Mataku melirik ke arah Nariyah. Dia paham isyarat mataku. Ketika aku bilang tidak tahu pada pembeliku, Nariyah yang juga ditanyai ikut menjawab tidak tahu. Laki-laki dengan logat asing itu tidak bertanya lagi dan langsung pergi setelah membayar.
“Suwun, Yah, sudah tutup mulut.” Kutepuk lembut lengan Nariyah.
“Sekarang kudu hati-hati kalau ada orang nyebut dukun, Yu. Bahaya.”