Aku terbiasa menandai hari-hari khusus di kalender. Tanggal enam kutandai sebagai hari di mana aku mendapat dua janji bantuan untuk mencari Bukhari. Pertama dari Yu Darsinah. Kedua dari mulut Bu Ali yang saat itu membawa cucu laki-lakinya ke rumahku.
Bu Ali berpapasan denganku sepulang dari Yu Darsinah. Niat awal ingin ke rumahnya justru berakhir di rumahku. Di panas terik itu, Bu Ali berpayung sambil menggendong cucu laki-lakinya. Langkahnya terburu-buru seolah bayi yang digendongnya terbuat dari es dan segera mencair. Baru ketika bertemu denganku, dia bisa menata napas lagi.
“Bu Khari, sampean mau ke mana?” Siapa pun yang tidak terlalu akrab denganku biasa memanggilku dengan nama ujung suamiku. “Saya mau minta tolong bisa? Cucu saya panas tinggi, tadi kejang juga. Saya bingung mau ke mana. Mbah kakungnya sudah seminggu lebih belum pulang.”
Melihat kondisi seperti itu apa bisa aku menolak? Kubawa mereka ke rumah. Sewaktu bayi berusia tujuh bulan itu kugendong ternyata memang badannya amat panas. Tangisnya baru reda saat kutimang-timang sambil kukompres dan kutiupi ubun-ubunnya. Doa-doa tipis yang tak terdengar menyatu dalam tiupan itu.
“Mulai kapan tole panas begini Bu?”
“Sudah seminggu naik turun panasnya. Rewel terus. Apa gara-gara ditinggal ibunya ya? Apa giginya tumbuh? Dot ndak mau. Bubur juga ndak mau. Bapaknya ndak telaten ngurus, makanya ditinggal di rumah mbahnya.”
Bayi laki-laki itu kutidurkan. Bibirnya tampak kering. Lidahnya memutih. Saat aku meluruskan kaki dan memijat lembut perutnya, dia kembali menangis. Bu Ali sigap menggendongnya lagi.
“Tolong gendong posisi berdiri ya Bu. Saya kasih air putih dulu si tole.”
Bayi laki-laki itu menyesap sesendok demi sesendok air yang kuminumkan. Saat sudah tenang, kubalurkan minyak urap bidara buatanku ke seluruh tubuhnya tanpa memijat. Bayi itu seperti kesakitan jika ada tekanan berlebih di dagingnya. Bintik merah samar beberapa tampak di lipatan kaki dan tangannya.
“Sering diminumi air putih nggeh Bu tole ini. Kasih makan sedikit-sedikit pokoknya perut ada isinya.”
“Saya minta air dari sampean saja. Lebih manjur, soalnya ada mantranya. Ini buktinya si tole sudah ndak rewel lagi.”
Kubawakan sebotol air minum yang sudah berisi tiupan doa-doa kesembuhan. Juga kubawakan minyak bidara racikanku dalam botol minyak bekas cap gajah.