Sejak dari rumah Pak Ali, aku memutuskan menutup telinga dari segala simpang siur berita soal pembunuhan. Sayangnya, pikiranku justru bekerja di luar perintah dan menggambar segala peristiwa penganiayaan itu terjadi pada Bukhari. Dia diseret paksa, dihantami batu dan dibuang di tempat asing setelah acara aduan sapi selesai. Itu sebabnya dia tak kunjung kembali.
Empat hari tubuhku dikuasai pikiran buruk. Semua pekerjaan luput dari jamahan. Aku libur berjualan. Halaman rumahku penuh luruhan daun bidara. Ayam-ayamku mengais-ngais apa yang ada di tanah tanpa kuberi pakan. Kucing yang biasa menyusup masuk dapur terus mengeong minta sisa makanku, padahal selama aku tidak ke pasar hanya sekadar makan seiris tahu putih bertabur garam.
Empat hari itu pula jatah menutup mataku terbatas tiga jam. Begitu ketidaksadaran datang, aku kembali diperlihatkan kejadian mengerikan. Merah, darah dan berujung kematian. Sampai kapan aku kuat menunggu kabarmu, Mas? Menunggu terlaksananya janji dari Yu Darsinah dan Pak Ali seperti bayangan dalam kolam yang jernih. Tampak nyata tapi beriak ketika disentuh.
Kenapa?
Seandainya suamiku punya jabatan seperti calon besannya Yu Darsinah, apa dia akan mengulur-ulur waktu buat membantuku? Yu Darsinah bisa terburu-buru membeli segala bahan pokok yang harganya melambung tinggi, hanya demi bisa terlihat wah di mata calon menantunya. Kenapa dia tidak bisa terburu-buru memberi kepastian padaku?
Pak Ali pun juga sama. Hari ini, tanggal sepuluh bulan sembilan, sudah berjajar empat puluh satu tanda silang di kalenderku. Di mana perhatian Pak Ali pada warganya? Sekali pun tidak ada ucapan yang menunjukkan dia peduli dengan hilangnya suamiku. Apa aku harus jadi ABRI dulu atau kerja di polres baru bisa duduk bercengkerama membahas hilangnya suamiku? Apa penjual nasi tiwul sepertiku dan petani kaspe seperti suamiku tidak layak mendapat perhatian khusus?
Andai gugatanku bisa keluar lewat mulut ....
Pagi ini sudah kuniatkan berjualan terakhir. Berapa pun hasilnya akan jadi penutup tabunganku untuk mencari keberadaan suamiku. Bisa jadi aku hidup menggelandang di satu kota, menyusuri setapak demi setapak jejak Bukhari. Di luar sana mungkin banyak yang mempertanyakan kenapa setelah empat puluh hari berlalu baru aku benar-benar mencari?
Aku butuh dikuatkan. Selama ini yang menguatkanku adalah sebuah penyangkalan bahwa Bukhari baik-baik saja. Dia akan kembali seperti biasanya, membawa beberapa lembar rupiah dalam amplop sebagai upahnya. Penyangkalan itu bertambah hari semakin terkikis karena santernya berita pembunuhan orang-orang yang dianggap dukun santet. Bentuk penguatan itu lebur tepat hari ini.
Di pasar ketika aku berjualan, banyak pasang mata yang menatapku, tapi tidak ada sapaan seperti biasanya. Nariyah bahkan terus menunduk, sengaja menghindar dari mataku. Apa semenakutkan itu wajah orang yang kurang tidur selama empat hari?
Sampai lepas jam dua belas siang, satu pun orang tidak ada yang benar-benar membeli daganganku. Satu orang hampir membeli tapi dia ditarik kawannya untuk pergi ke jejeran penjual makanan lain. Satu orang lagi sudah melihat-lihat menu masakanku hari ini tapi dia kemudian berbalik tanpa mengatakan apa yang diinginkannya, seolah mulutnya ada yang mengunci rapat. Satu lagi pelanggan sudah memesan namun dibatalkan karena sewaktu mengecek tas belanjaan katanya dia kehilangan dompet, padahal jelas kulihat ada dompet di dalam tasnya. Sayangnya mulutku tak mampu berkata apa-apa.
Rezeki memang sudah diatur Yang Kuasa, tetapi ketika pengaturan itu diubah tatanannya oleh manusia apa boleh aku curiga? Dua puluh lima tahun sudah aku dan suamiku mempelajari ilmu yang susah dipercaya nalar sebagian orang. Kepekaan itu sudah terbentuk. Kondisi yang kualami ini bukan bentuk ketetapan takdir Yang Kuasa. Ada manusia yang coba memainkan kuasa, menutup jalanku dengan membelokkan pelangganku.
Biasanya aku baru kembali setelah jam satu. Kutunggu sampai jam tiga pun ternyata daganganku masih utuh. Nariyah sudah membereskan dagangannya bahkan sebelum azan zuhur. Seharian itu dia hanya bicara pulang dulu, Yu. Dia tidak biasanya seperti itu.
Pulang dari pasar, kakiku digerakkan untuk singgah dulu ke rumah Nariyah. Diamnya Nariyah jadi salah satu alasannya.
Kami masih satu kampung meskipun beda RT. Perempuan itu kebetulan sedang menyapu halamannya. Aku mengagetkannya dengan decitan rem sepedaku.
“Yu Merah? Kok di sini?”