Lampu teras baru akan kunyalakan. Sisa-sisa cahaya senja tidak semuanya sampai ke pekarangan. Rumahku agak masuk dari jalan kampung, berada di antara lahan sengon rimbun milik orang yang tinggal di ibukota. Dari jendela, samar kulihat ada bayangan yang berdiri dekat pohon asam batas tanah pekaranganku, menghadap ke arahku. Begitu penerangan menyala, dia menghilang.
Selisih lima belas langkah, pintu depanku diketuk. Nariyah datang sambil memeluk rantang makanan.
“Yu, boleh aku nginep sini?”
Perhatianku tertuju pada mata kiri Nariyah yang hanya bisa separuh terbuka. Lebam.
“Aku ndak kuat di rumah, Yu,” katanya agak tersendat.
Sebenarnya baju-baju gantiku sudah masuk dalam tas besar di dalam kamar. Subuh nanti aku akan pergi. Tapi dengan kondisi macam ini apa bisa aku menolak kedatangan Nariyah? Dia butuh tempat sembunyi dari kenyataan yang terus memukulinya lewat tangan dan kaki suaminya. Sedangkan aku butuh lari dari tempat ini, mencari kenyataan tentang suamiku.
Anggukanku menerbitkan senyum Nariyah yang setipis lengkung bulan baru. Anggukanku juga yang jadi penghalang langkah pencarian Bukhari. Maaf ya, Mas ....
Sisa daganganku tadi pagi masih ada dan sudah kupanasi untuk makan malam ini, tapi Nariyah menyuguhkan masakan bawaannya. Dia yang menata nasi jagung, botok tawon dan sayur kesrutnya di atas lincak. Beberapa kali Nariyah terlihat mengusap mata. Ada cerita yang sengaja dia tahan sampai kami selesai makan.
“Yu, kalau sampean jadi aku kudu piye?”
Nariyah menunjuk matanya, kemudian ulu hatinya sambil mengucap sakit tanpa suara.
“Pisah.” Cukup jawaban singkat yang kupunya.
“Tapi Yu ....”
“Kamu bertahan karena apa, Yah? Anak? Terus kalau anakmu tahu ibunya dipukuli begitu apa ndak malah takut? Bisa jadi ini alasan anakmu milih mondok di luar kota dan ndak pernah mau diajak pulang.”
“Ada alasan lain, Yu. Soal tanah.”
“Tanah yang kamu tempati itu kan warisan dari bapakmu, Yah. Bukan hasil kerja suamimu.”
“Sudah dibalik nama semua atas nama Marhadi. Termasuk sawah juga. Terus semuanya mau diambil alih istri barunya. Aku baru tahu hari ini, Yu. Dia ternyata sudah nikah lagi. Aku dicerai ndak apa-apa tapi aku ndak ikhlas hartanya bapakku diambil buat perempuan lain.”
Nariyah menangis di dadaku. Ada rasa yang menumbuhkan bayangan tentang Bukhari. Apa dia tak kembali karena kawin dengan perempuan lain? Tapi seandainya begitu, bebanku tidak seberat yang dirasakan Nariyah. Bukhari pergi hanya membawa baju yang melekat di tubuhnya, dua kaos hadiah sabun dan sarung.