Pagi setelah Nariyah memutuskan kembali ke rumahnya, aku berkunjung ke Yu Darsinah. Aku mau memastikan cerita soal Triyas yang disampaikan Marhadi. Berkali-kali kuketuk pintu rumah Yu Darsinah, tak ada jawaban. Aku mengelilingi rumahnya, mungkin ada orang di belakang. Tetap kosong. Ketika ada tetangga Yu Darsinah melintas di halaman, dia sekadar menggeleng sambil tertunduk sewaktu kutanyai soal Yu Darsinah.
Kampung terasa sunyi meski matahari belum sepenuhnya menyengat. Biasanya orang-orang wara-wiri ke pasar atau dari pasar, ke sawah atau mengantar anak sekolah. Pedagang sayur atau tahu atau kerupuk yang biasa masuk jalan kampung dan berteriak-teriak pun seperti ikut libur.
Di ranjang sepedaku sebenarnya sudah terbungkus beras dua kilo. Simpanan berasku memang untuk hal mendadak seperti ini. Melayat membawa beras jauh lebih utama daripada dibuat makan sehari-hari. Gaplek sudah cukup bagiku.
Niatku selain memastikan kebenaran soal kondisi Triyas, aku juga mau mengajak Yu Darsinah melawat ke rumah Pak Ali. Ternyata aku harus mendatanginya sendiri. Kali ini aku tidak akan mengemis janji dari seorang petinggi walau hanya kepala dusun.
Halaman rumah Pak Ali berubah jadi lahan parkir. Motor berplat merah berjajar-jajar hanya menyisakan sebaris jalan yang bisa dilewati dua orang. Ada tiga mobil Panther dengan plat merah juga berbaris memakan jalan masuk ke rumah tetangga. Terpaksa aku menyandarkan sepeda ontelku di pohon kersen seberang rumah Pak Ali.
Mungkin ini semua tamu dari anaknya Pak Ali yang jadi pegawai pemerintahan. Putra bungsu Pak Ali, sekaligus bapak dari bayi malang yang kutimang-timang itu katanya orang penting di kantor Pemda. Salah satu orang kepercayaan bupati. Aku sudah lupa wajahnya meski dulu aku yang ikut membantu kelahirannya. Dia sudah lama merantau, baru pulang ketika pindah tugas ke kota ini. Itu pun jarang terlihat menyambangi orang tuanya.
Setiap langkahku masuk ke halaman rumah Pak Ali, rasanya seperti menarik dua karung kaspe. Kakiku terus menolak memijak tanah di depannya. Tapi aku harus masuk dan tahu kejadian sebenarnya, bukan kabar yang dibuat-buat.
Ruang tamu penuh dengan orang-orang yang bercengkerama tanpa gurat kesedihan. Tawa mereka bebas di rumah duka. Ini kematian, bukan perayaan bertambahnya umur.
Tujuanku menemui Bu Ali. Dia pasti di dapur, sibuk menyiapkan suguhan tamu sambil menahan duka. Aku ke sana. Beberapa perempuan yang kukenal gotong-royong membantu urusan di dapur. Kusapa mereka, yang kudapat hanya kebisuan, tatapan tak percaya dan senggol-senggolan di antara mereka.
“Bu Ali di mana?” tanyaku sambil menyerahkan barang bawaanku.
Tidak ada yang menjawab. Hanya satu dari mereka berjalan ke rumah induk. Lainnya kembali mengabaikanku. Kenapa?
Bukan Bu Ali yang menemuiku tapi laki-laki berumur sekitar 25 tahun yang mendadak menyeretku keluar dapur.
“Mana bawaanmu?” Anak muda itu mengambil kresek hitam di samping tempatku duduk, dilemparkan ke arahku hingga ujung kresek sobek dan beras tercecer. “Bawa pulang! Ibuku punya banyak jatah stok beras.”
Aku masih memahami apa yang salah dengan bawaanku. Apa karena berasku hanya beras jatah yang lebih layak jadi pakan ayam? Tapi itu yang terbaik yang kupunya.
“Apa lagi yang kamu cari di sini? Belum cukup kematian anakku? Tukang santet!”
Keributan itu memancing kerumunan. Aku jadi tontonan. Mulutku ingin membela tapi siapa yang berani percaya? Bu Ali bersembunyi di antara ketiak warganya. Mata kami bertemu tapi kemudian dia tertunduk. Aku masih menunggunya bicara.
“Tunggu apa? Pulang!” bentak anak Pak Ali.
Dia kembali menyeretku. Tanpa peduli aku lebih tua darinya. Tanpa tahu kalau dia dulu sungsang di dalam perut ibunya dan aku yang menolongnya. Sama seperti istrinya, Pak Ali pun membiarkan anaknya berlaku kasar. Sebelum sampai pagar, aku tersandung, terjatuh. Barulah seorang laki-laki muda lain datang menolongku, memisahkanku dari anak Pak Ali yang punya jabatan tapi tak punya tata krama. Dia laki-laki muda yang pernah kutemui beberapa hari lalu di sini. Aku ingat, dia seorang babinsa.
Setelah mengantarku sampai ke tempat parkir sepeda di seberang jalan, dia minta maaf atas nama keluarga Pak Ali. Maaf itu harusnya tidak keluar dari mulut orang lain.