MANTRA MERAH

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #8

TUTUR BEGJA ~ 8


Aroma minyak bidara. Perempuan itu menyimpannya sebagai ciri khas. Dia dibicarakan. Kematian seorang bayi jadi satu laku perbuatannya. Namanya tercetak merah di pikiran orang-orang. Satu yang saya pertanyakan, andai bapak bayi itu ada di derajat yang sama, sama pulakah mulutnya menyebar kebohongan?

Sore itu sengaja saya cari alamatnya. Memang ada satu rumah yang agak masuk dari jalanan kampung setelah melewati selepan padi. Saya mengawasinya dari balik pohon asam. Bertamu menjelang magrib rasanya kurang sopan.

Di belakang rumah memang tampak dua pohon bidara yang memayungi. Pantas jika tubuhnya beraroma bidara. Mungkin dia membuatnya, dijadikan minyak pijat yang disalah artikan orang-orang sebagai penangkal guna-guna.

Dua kali saya bertemu dengannya. Yang pertama, hari Senin siang. Ingat saya itu tanggal sembilan bulan tiga. Tepat dua minggu saya ditempatkan di kantor koramil baru. Dari komandan, saya mendapat perintah untuk datang ke desa-desa, mengecek apakah ada indikasi kekacauan seperti yang terjadi pada desa di kecamatan lain. Kebetulan saya datang bersamaan dengan dua kawan dari kepolisian. Tugas mereka sama seperti saya.

Memang sejak awal tahun sudah terdengar kasus pembunuhan tapi semua simpang siur. Masih katanya, belum ada bukti. Sampai awal Februari banyak ditemukan mayat di tengah sawah, ada yang di sungai, digantung di area perkebunan, nyaris semuanya ditemukan di titik-titik yang jarang dilewati orang. Karena temuan kasus yang membengkak, penyelidikan dilakukan. Kesimpulannya, korban adalah orang yang diduga melakukan ilmu santet.

Perempuan itu, dengan keyakinanku, tidak melakukan praktik ilmu santet. Dia dengan kemampuan dan kepercayaan kunonya, suwuk, berhasil menenangkan cucu kepala dusun yang sedang sakit. Saya dapat ceritanya langsung dari istri kepala dusun yang siang itu rumahnya saya kunjungi. Ketika perempuan itu pulang, saya melihat jelas rasa kasih dalam matanya pada bayi laki-laki yang sudah dia suwuk.

Mestika Merah. Saya mencatat namanya. Sesuai instruksi tugas dari atasan, semua orang yang melakukan praktik perdukunan jenis apa pun wajib didata dan mendapat perlindungan. Pak Ali, kepala dusun di sana juga menyebutkan nama Bukhari, suami perempuan itu yang juga seorang dukun. Dari keterangan Pak Ali, yang lebih dikenal sebagai dukun di kampung ini adalah Bukhari. Istrinya hanya dukun beranak dan tukang suwuk anak-anak. Masalahnya, sudah sebulan lebih Bukhari menghilang dan tidak ada laporan. Saya dan dua kawan saya langsung bersepakat jika di kampung ini mulai tercium aroma ketidakberesan.

Saya tidak punya wewenang untuk menangani orang hilang, tapi dua kawan saya bisa. Mereka hanya butuh sebuah laporan. Sayangnya Pak Ali enggan bicara banyak soal Bukhari. Bahkan ketika Bu Ali menyampaikan soal Bukhari yang menghilang dan istrinya butuh bantuan untuk mencari, Pak Ali langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Saya bertanya pada dua kawan saya apa bisa kita menanyai langsung pada keluarga korban yang menghilang sepulang dari rumah Pak Ali? Mereka bilang pekerjaannya masih banyak. Kalau memang merasa kehilangan tentu keluarga pasti lapor. Saya meragukan itu. Beberapa orang kecil, apalagi yang tinggal jauh di wilayah pedesaan dan kurang sosialisasi, cenderung takut berurusan dengan polisi atau tentara. Stigma yang melekat di pikiran mereka jika berdekatan dengan kami adalah dianggap punya masalah kriminal atau cari muka. Saya yakin, perempuan itu takut untuk bicara.

Hati saya memang tergerak mendatangi perempuan itu, tapi apa daya saya masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Selama beberapa hari, tugas saya masih sama, berkunjung ke desa-desa yang masih dalam lingkup wilayah kesatuan tugas saya. Memastikan bahwa kondisi aman atau jika ada indikasi seperti kasus Bukhari dan Merah, saya harus membuat laporan ke atasan.

Lihat selengkapnya