Petang itu, seseorang nyaris berbelok menuju gang rumah Ibu Merah. Mungkin dia terlanjur melihat saya sehingga memutuskan berjalan lurus saja. Apa orang itu mengenali saya sehingga jalannya gegas?
Tanpa saya sadari langkah saya juga sama cepatnya untuk menghindar, masuk dalam keremangan dan mengambil motor yang terparkir di antara barisan sengon. Bukan karena takut dianggap penguntit, tapi khawatir kalau keberadaan saya di rumah Ibu Merah justru jadi bahan bakar gunjingan warga.
Lepas Magrib saya baru sampai rumah kos yang berjarak sekitar 300 meter dari koramil. Ada seseorang yang menunggu saya di teras. Nazaruddin, rekan kerja yang sama barunya dengan saya dan jarang terlihat di Koramil langsung menyalami.
“Selamat malam, Dik Begja. Karena tidak pakai seragam jadi boleh kan panggil dik?”
“Malam. Ini ada angin apa kok Abang Nazar bisa tiba-tiba terdampar di sini?”
Panggilan adik abang ternyata bisa melunturkan kesenjangan di antara kami. Pangkat Nazaruddin setingkat di atas saya. Sedang umurnya mungkin lima belas tahun di atas saya. Dia babinsa juga.
“Sudah hafal wilayah sini kan Dik? Ketemu hal janggal yang mengarah ke huru-hara?”
Nazaruddin langsung menggiring maksud kedatangannya. Saya menilai begitu. Dia sudah tahu kalau keberadaan saya di sini hanya sementara. Surat resmi pindah tugas saya belum keluar, tapi ada surat tugas khusus yang menerangkan bahwa saya diperbantukan di sini.
“Ada sedikit Bang. Soal tuduhan tukang santet pada seorang ibu.”
“Itu bukan sedikit. Bisa jadi masalah besar kalau ulatnya tidak dibasmi. Saya sendiri baru dua bulan, tapi saya bisa merasakan orang-orang wilayah sini tidak bisa lepas dari pengaruh ilmu gaib. Malah ada yang terlalu percaya mistis sampai tidak bisa berpikir realistis.”
“Abang sendiri pernah bertemu masalah besar apa selama di sini?”
“Ini yang mau saya bicarakan. Selama di sini, saya ikut membantu pembangunan masjid dan perbaikan saluran irigasi dengan warga. Nah, semakin santer berita soal pembunuhan, orang-orang malah sering bercerita soal keluarga atau tetangga mereka yang selama ini kena santet. Bukan satu atau dua orang, tapi nyaris semua yang bicara dengan saya membuat pengakuan itu. Sampai sopir angkut pasir juga buat pengakuan kalau dia pernah jadi korban guna-guna. Saya tidak tahu itu benar atau dibuat-buat. Yang pasti mereka sepakat bahkan bersedia ikut membantai para dukun santet kalau diminta. Mungkin kita memang perlu mengumpulkan para dukun yang sudah didata itu. Kita bikin semacam penyuluhan, tapi isinya kita selipi anjuran untuk menghentikan sementara praktik mereka. Bagaimana menurutmu Dik Begja?”
“Yang penting itu bukan masalah mengumpulkannya kalau menurut saya, Bang. Tapi siapa yang menjamin keselamatan mereka? Hanya kita berdua? Anjuran itu memang datang dari atas, tapi mana personil yang diturunkan untuk pengamanan? Kelihatannya polisi juga adem ayem.”
Seketika saya skeptis begitu ingat bagaimana respons dua polisi yang menolak saya ajak menyelidiki hilangnya suami ibu Merah, juga tanggapan komandan ketika saya sampaikan ada indikasi orang hilang di wilayah kami. Komandan meminta saya fokus mendata dulu sambil menunggu perintah lanjutan dari pusat.
“Berdoa saja kasus pembunuhan itu tidak merembet ke sini, Dik. Yang sudah-sudah saja aparat dibuat kelimpungan sendiri. Saya kira dipindahkan ke wilayah kecil itu bisa lebih tenang. Tidak terpengaruh huru-hara seperti di kota besar.”
Nazaruddin tadi mengatakan orang-orang terlalu percaya mistis, tidak bisa berpikir realistis. Tapi dia bersembunyi dengan topeng religius untuk menutupi ketakutannya pada hal yang realistis. Seberapa ampuh doa bisa menghalau pembunuhan?
Malam itu, Nazaruddin untuk pertama kalinya menemani saya piket jaga malam di kantor. Di meja, ada sebuah surat dengan nama saya sebagai tujuan.
“Dari bapakmu. Tadi sore ada yang mengantar. Orang yang tinggal di sebelah ini.” Nazaruddin mengarahkan telunjuknya ke rumah sebelah timur koramil. “Ternyata bapakmu tentara juga ya.”