Darahnya sudah saya serap, dalam kain, dalam pori-pori kulit. Begitu juga amarah yang terkurung dalam jasad yang kaku. Saya merasakannya. Celana dan jaket saya sudah berpindah ke tubuhnya. Ibu Merah tidak akan kedinginan lagi setelah telanjang dalam gantungan.
Api sudah menggeramus rumah dan pepohonan di sekitar. Anehnya, semua masih terasa sunyi. Matikah semua orang di desa ini?
Sendiri, saya tidak tahu harus berbuat apa dengan jasad Ibu Merah yang sudah saya turunkan. Saya hanya bisa memeluknya sambil memejam dan membayangkan bagaimana orang-orang biadab mencabut paksa nyawa perempuan yang hidup sendiri.
Ibu, di mana anak-anakmu?
Saya masih berharap daun telinga yang diiris itu mendengar bisikan saya, lalu mulutnya yang hancur akan menjawab anak saya merantau. Atau ... kelopak mata yang menyembunyikan bola mata pecah itu, terbuka. Mungkin Ibu Merah akan memberi tatapan rindu pada anaknya seperti caranya menatap cucu Pak Ali.
Bekas jerat di leher dan pukulan di seluruh tubuh Ibu Merah, ternyata mengambil alih tempat dalam ingatan saya yang paling dalam. Ada yang ikut terbunuh dalam diri saya malam itu. Saya menamainya rasa welas.
Api makin menjalar. Saya tidak akan membiarkan Ibu Merah dikremasi dengan cara keji seperti itu. Dia berhak dapat penghormatan yang layak. Dari kerabatnya atau orang-orang kampung yang pernah dia tolong. Saya menggendongnya sebelum api benar-benar menutup jalan.
Begitu saya kembali ke arah jalan kampung, ada belasan pasang mata berisi api murka ketika menatap saya. Bukan ember berisi air atau karung pasir yang mereka bawa untuk memadamkan api, tapi parang dan cangkul. Orang kampung ini ternyata tidak mati, hanya nuraninya saja yang lebur jadi abu.
Bersahutan orang-orang menanyai saya.
“Sampean siapa?”
“Siapa yang suruh bawa mayat perempuan itu keluar?”
“Kembalikan mayat itu atau sampean jadi mayat?”
Empat orang mendekati saya dengan parang teracung sebelum mulut saya menjawab. Lalu seseorang datang seperti satria pembela kebenaran, menghadang langkah empat orang itu dan memperkenalkan identitas saya. Saya kenal suaranya meski dalam gelap.
Pak Ali, kepala dusun itu meminta maaf pada saya. Gelap menyembunyikan senyum getir saya. Seandainya saya warga sipil, bukan seorang tentara, apa saya disegani? Apa saya akan menerima penganiayaan karena menggendong mayat perempuan yang mereka benci?
Saya masih mendengar dengung kekecewaan atas keputusan Pak Ali membiarkan saya membawa mayat Ibu Merah. Tentu dengan menyebutkan embel-embel pekerjaan saya dan menunjuk motor plat merah yang saya parkir dekat jalan masuk gang rumah Ibu Merah sebagai bukti.
“Saya hanya butuh pinjaman cangkul. Tidak butuh teman untuk menguburkan Ibu Merah secara layak.”