Bayangan saya, pagi setelah peristiwa kematian Ibu Merah, saya akan dengar berita pembunuhan lagi. Kemudian ada yang menciduk nama saya sehingga saya harus berhadapan dengan komandan atau berurusan dengan polisi.
Kenyataannya, berita yang saya dengar justru tentang seorang dukun santet yang berkedok penjual nasi tiwul membakar rumahnya sendiri dalam laku spiritualnya. Mayatnya lenyap, tak ada yang tahu.
Bagaimana bisa berita tidak logis seperti itu menyebar dengan cepat dan dipercaya? Apa pihak kepolisian percaya begitu saja dengan cerita itu?
Harusnya sepagi mungkin saya ke sana jika ingin cari bukti. Namun saya menahan diri, tak mau ambil risiko kehadiran saya justru menambah pelintiran cerita tentang kematian Ibu ....
Sesuai janji subuh tadi, saya mendatangi Pak Asan saat jam istirahat. Saya mengajaknya melihat kondisi rumah Ibu Merah. Siang itu, saya sudah lepas seragam ketika mengunjungi rumah Ibu Merah. Ramai orang di sana, seperti melihat sebuah tontonan sirkus. Garis polisi sudah jadi penghalang. Rumah itu tinggal tembok separuh, asbes yang ambruk, balok kayu atap yang jadi arang dan sisa perabot yang menolak jadi abu.
Pak Asan mengelus punggung saya, seolah dengan begitu amarah yang menggelegak dalam diri saya bisa tenang. Tidak pernah! Kalau doktrin yang ditancapkan dalam pendidikan militer yang saya jalani adalah membela Ibu Pertiwi sampai titik darah penghabisan, maka membela ibu yang melahirkan lebih dari darah penghabisan.
Saya menerobos kerumunan dan melompati garis polisi. Seorang petugas menghadang saya. Terpaksa saya lakukan hal yang paling saya benci, menunjukkan kartu anggota TNI. Hanya dengan begitu, petugas kepolisian mengizinkan saya melihat langsung olah TKP.
“Hasil sementara tidak ada korban jiwa. Kemungkinan, pemilik rumah sudah kabur setelah membakar rumah.”
“Tidak ada korban? Pemilik rumah membakar rumah? Bagaimana bisa Anda menyimpulkan seperti itu?” Saya nyaris terpancing untuk bicara soal pembunuhan semalam. Tidak saat ini, bukan di hadapan banyak orang yang akan memicu ketakutan.
“Hanya kemungkinan Pak Begja. Bisa jadi pemilik rumah terlilit utang, kemudian kabur. Kami juga masih menyelidiki kemungkinan adanya orang lain yang melakukan. Unsur dendam mungkin.”
“Kami juga sudah meminta keterangan warga sekitar dan RT. Mereka tidak mendengar keributan apa pun. Bahkan kebakaran ini juga tidak ada yang lihat. Subuh tadi baru ada yang melihat, itu pun tinggal asap dan puing-puing ini.” Petugas olah TKP yang lain menyahuti.
“Kepala dusun sudah dimintai keterangan?” Saya harus sebut orang itu. Saya rasa dia menyimpan rahasia yang harus dibuka paksa.
“Sudah, Pak Begja. Jawabannya sama, dia tidak tahu soal kebakaran.”
Saya tertawa. Enam petugas kepolisian memandang saya dengan keheranan.
“Kalau saya tunjukkan saksi kunci, apa Anda sekalian bersedia mengusut tuntas peristiwa ini?”
“Hanya jika ada indikasi aksi kejahatan berbahaya di sini, Pak Begja. Kalau cuma masalah laku spiritual seperti yang orang-orang bicarakan, kasus ini segera ditutup.”
“Bukan cuma jahat, tapi brutal dan biadab,” tegas saya sambil mengamati satu keanehan. Dahan pohon asam tempat Ibu Merah digantung, sudah dipotong.
Selepas olah TKP itu, saya ikut mereka ke Polsek. Saya menuturkan semua yang saya lihat kecuali lokasi makam Ibu Merah. Bahkan saya bawakan bukti cangkul yang saya pinjam. Mereka percaya dan bersedia memanggil Pak Ali sebagai saksi berikutnya, sekaligus menghadirkan saya bersamaan.
Tahu apa yang terjadi ketika Pak Ali dimintai keterangan esok harinya? Dia menuduh saya berbohong. Dia menuduh pihak kepolisian lebih membela saya karena pekerjaan saya. Dia bersikeras tidak ada di lokasi kejadian. Tuduhan Pak Ali yang paling menyakitkan adalah saya pembunuh Ibu Merah. Hanya karena saya ada di lokasi, membawa cangkul dan sepeda motor saya ditemukan warga di dekat TKP.
“Ini cangkul yang saya pinjam. Pak Ali yang memberikan, berarti saya harusnya mengembalikan ini pada Pak Ali.”