Sore ketiga setelah kematian ibu, saya kembali menengok tempat terakhirnya melepas napas. Sengaja saya pilih menjelang magrib untuk menghindari kerumunan warga di rumah yang sudah jadi abu karena penasaran dengan kematian ibu. Desas-desus sudah merebak tentang bayang-bayang Ibu Merah yang katanya mulai mengganggu warga. Saya dengar itu ketika berjalan kaki menuju ke rumah yang harusnya jadi rumah saya.
Mulai dari tiga lelaki pencari rumput yang berbincang di pinggir jalan, saya dengar jelas mereka membicarakan tentang penampakan yang menakutkan di sekitar wilayah rumah Ibu Merah. Begitu pula dengan para ibu yang memperingatkan anak-anaknya agar segera masuk rumah saat sore sudah berakhir agar tak bertemu arwah Ibu Merah. Anak mana yang terima ibunya dijadikan bahan bakar penyebab ketakutan?
Di tangan saya masih tergenggam erat dua kresek kembang yang saya beli dari pasar. Bahkan di pasar pun nama ibu saya jadi gunjingan. Penjual kembang dengan mudahnya mengumbar cerita pada semua pembelinya—termasuk saya—tentang keseharian Ibu Merah. Katanya Ibu Merah pernah beberapa kali dilabrak seseorang yang dirugikan dengan kekuatannya. Entah benar atau tidak, Ibu Merah berhasil membuat seorang lelaki kembali ke istri pertamanya sedangkan istri keduanya tidak terima hingga menuduh Ibu Merah punya sihir menakutkan di depan banyak orang saat pasar sedang ramai-ramainya.
Saya membayangkan betapa malunya ibu saya waktu itu dan dia menanggung sendiri. Apa bapak kandung saya tahu kondisi ibu yang di akhir hidupnya diperlakukan biadab? Atau mereka sudah bahagia dan tinggal melihat permainan dunia yang telah menjadikan mereka tumbal? Saya terus membayangkan segala kemungkinan sepanjang jalan.
Sampai saat saya tiba di bekas rumah ibu, sosok perempuan yang sedang bersujud di bawah pohon asam membuat jantung saya serasa dilepas paksa. Saya yakin siapa pun yang berdiri di tempat saya akan langsung lari dan meneriakkan ketakutan di setiap rumah yang dilewati. Namun saya menguatkan nyali untuk mendekati.
Seorang perempuan dengan daster panjang masih bersujud menghadap pohon asam tempat ibu saya digantung. Rambut panjangnya menutup seluruh mukanya yang mencium tanah sehingga saya belum bisa mengenalinya. Dari gerak punggungnya yang naik turun teratur, saya yakin dia manusia. Kemudian samar-samar saya dengar seperti ada suara tangis yang disembunyikan. Khayalan saya berharap itu ibu dan saya bisa menjadi tanah yang memeluk tangisnya.
“Ibu ....”
Dua kali saya memanggil perempuan itu tapi sepertinya dia larut dalam suara tangis yang mulai beradu dengan sayup azan magrib di kejauhan. Ketiga kalinya saya berjongkok dan menyentuh pundaknya. Seketika perempuan itu terduduk dan nyaris terjengkang saking kagetnya melihat saya.
“Maaf kalau saya mengagetkan. Ibu baik-baik saja?”
Tanpa dijawab pun saya tahu perempuan yang sudah berbedak tanah itu jauh dari kata baik-baik saja. Namun saya butuh pancingan tentang siapa perempuan yang sudah menangis di bawah tempat terakhir ibu?
Perempuan itu meneruskan tangisnya sambil menunjuk batang pohon tempat ibu digantung yang sudah dipotong seseorang. Dia terus-menerus menyebut nama ibu dan meminta maaf berulang-ulang.
Setiap orang punya cara masing-masing meluapkan kekecewaan atas kematian seseorang yang dicintai. Mungkin perempuan ini salah satu dari sedikit orang yang bersimpati pada kematian ibu.
“Yu, harusnya kita pergi bareng-bareng. Kenapa kamu tega ninggal aku sendirian di sini, Yu. Kita bisa cari Mas Bukhari.”
“Ibu, kenal dekat dengan ibu saya?”
Seperti mengucap kalimat sakral, perempuan itu langsung berhenti menangis dan menatap saya. Tatapan menyeluruh dari puncak kepala hingga kaki, bahkan perempuan itu bergeser tempat untuk memastikan apakah saya nyata atau astral.
“Sampean siapa? Yu Merah ... ndak punya anak.”