Senja kedua sejak kematian ibu, saya kembali lagi ke rumah yang tinggal puing-puing itu. Di balik pohon asam yang terluka karena guratan tanda silang, saya berharap bisa melihat ibu keluar dari rumahnya, seperti kali pertama saya melihatnya di titik yang sama. Namun yang saya temukan di sana bukan Ibu Merah, ada ibu lain yang duduk bersama anak perempuannya di sisi tembok yang roboh. Mungkin mereka penduduk sekitar yang masih penasaran dengan kisah klenik soal lenyapnya pemilik rumah.
Sampai matahari surut, mereka tak kunjung pergi. Bahkan saya dengar suara tangis makin menjadi dari ibu dan anak perempuan itu. Saya menghampiri mereka, bisa jadi mereka bagian dari keluarga ibu.
“Sampean siapa? Mau apa?” Perempuan yang mungkin seusia ibu atau lebih itu langsung berdiri dan mendekap anak gadisnya. Wajahnya benar-benar takut melihat saya.
“Maaf kalau saya mengagetkan Ibu. Tapi sepertinya tempat ini belum bisa dimasuki sembarangan.” Sengaja saya tunjuk garis polisi yang masih melingkar.
“Sampean polisi?”
“Bukan.”
“Bukan polisi kok nglarang-nglarang? Urusan sampean apa di sini?”
“Anggap saja sama seperti Ibu. Mengenang kepergian orang terdekat.”
“Orang terdekat? Sampean siapanya Dik Merah? Kok aku ndak pernah lihat sebelumnya?”
“Memangnya berapa lama Ibu kenal Ibu Merah?”
“Ya lama. Seumuran anakku ini. Malah lebih.”
“Berarti Ibu sangat kenal Ibu Merah?”
“Dik Merah sudah tak anggap saudara sendiri. Dia sudah jadi ibu kedua buat anakku ini.”
Saya perhatikan gadis itu tidak berhenti menangis. Tubuhnya gemetar dan rapuh jika tidak ditopang ibunya. Seberapa besar arti kehadiran ibu saya untuknya?
“Jadi, sampean siapanya Dik Merah?”
“Anaknya.”
Jawaban saya seketika menghentikan tangis gadis itu dan menegangkan garis wajah perempuan yang berbicara dengan saya.