Kematian ibu saya ramai dibicarakan di luar, tapi tidak di kantor saya. Komandan sudah saya beritahu perihal pembantaian itu, tapi justru mengembalikan kesalahan pada korban. Alasannya sederhana, semua pekerjaan punya risiko, apalagi dukun santet.
“Ibu Merah hanya dukun beranak, Komandan.”
“Terus apa yang kamu inginkan? Pengusutan kasus itu sudah ranah polisi. Tugas kita itu mencegah kejadian serupa yang mengarah ke huru-hara massal. Ingat, ini masa rawan. Sudah kamu lakukan arahan soal pemanggilan warga yang melakukan praktik perdukunan?”
“Belum, Komandan. Sejauh ini kami masih melakukan pendataan.”
“Itu arahan dari pusat. Jangan lupa, ambil foto orang-orang itu juga buat data. Silakan koordinasi dengan Nazaruddin.”
“Siap, Komandan.”
“Cukup satu kasus saja yang terjadi di wilayah kita.”
Cukup satu kasus? Dan lambat dalam penanganan? Mulut ini nyaris lepas kendali dan mengatakan bahwa saya anak korban yang menuntut pengusutan kasus oleh pihak berwajib. Untungnya komandan segera pergi dari hadapan saya.
Penyelidikan saksi rupanya hanya berhenti pada Pak Ali. Siang itu tanggal delapan belas, masih tidak ada perkembangan. Ketika saya menanyakan kenapa, Iptu Mahendra justru menyudutkan saya agar membantu kepolisian menyelesaikan kasus. Mereka ingin saya menunjukkan makam ibu dan membongkarnya untuk keperluan penyelidikan.
Saya menutupinya dengan alasan itu permintaan kerabat Ibu Merah. Sedangkan Iptu Mahendra bersikeras jika Ibu Merah hanya tinggal berdua dengan suaminya yang sudah lebih dari sebulan hilang. Tanpa kerabat di sini. Di hari itu saya merasa seperti kambing yang dikurbankan untuk menutupi sebuah kasus kebiadaban hanya karena saya enggan mengatakan lokasi makam Ibu Merah. Hari itu jadi hari terakhir saya berbincang dan datang baik-baik dengan pakaian loreng.
Ketika kembali ke kantor, Nazaruddin mengajak saya menjalankan perintah Komandan. Dia menunjukkan setumpuk kertas fotokopian yang siap dibagikan. Saya tidak pernah gusar menjalankan perintah dengan memakai seragam tetapi sejak hari itu, saya tidak pernah tenang.
Kami mengetuk satu per satu rumah warga yang ada dalam data kami. Dimulai dari rumah Bapak Samirin. Laki-laki renta yang tinggal sendiri. Seorang yang dipercaya sanggup mengusir hujan di setiap hajatan. Rumahnya yang doyong, sudah menunjukkan hidupnya di bawah garis kemiskinan. Dan ... kami menawarkan tipuan yang sudah dianggarkan.
Kami menyampaikan sebuah undangan resmi berstempel koramil untuk acara pembagian sembako gratis hari Sabtu. Sebagai gantinya, kami meminta fotokopi KTP serta cap jempolnya sebagai syarat. Tidak ada alasan menolak untuk seseorang yang butuh makan di masa segala bahan pangan hanya bisa dibeli kaum mapan.
Tiga rumah selanjutnya, tak jauh berbeda kondisinya dengan Bapak Samirin. Ada Pak Mualim, tukang suwuk yang pantang disebut dukun. Dia juga guru mengaji sekaligus marbot. Rumahnya hanya papan yang menyatu dengan tembok musala warga. Dia mengaku tanah yang dia tempati termasuk tanah wakaf musala. Dia harus pergi sewaktu-waktu seandainya ada yang menggugat atau musala diperlebar.
Pak Atmadi, buruh tani yang katanya doanya manjur menjauhkan sawah juragannya dari hama dan hasil panen yang gagal. Dia tinggal di gubuk dekat sawah bersama istri dan lima anak. Lalu ada Bu Ngatemi, janda tua yang tinggal dengan cucu buyutnya yang masih SD. Dia dukun beranak. Sehari-hari dia berkeliling menggendong jamu dagangannya bersama cucu buyutnya.
Apa orang-orang seperti ini yang dijadikan tumbal pembantaian di luar sana? Saya sangat yakin mereka bukan biang keladi pembuat masalah. Menyarankan mereka berhenti melakukan praktik kemampuan ajaibnya sama saja menyuruh mereka berhenti berbuat kebaikan.
“Menurutmu keterangan kades, kadus, RT, bisa dipercaya, Dik Begja? Empat orang ini kelihatannya tidak buka praktik dukun seperti yang kita kira. Dari aura rumah itu biasanya sudah bisa terasa. Ini biasa saja, tidak kelihatan suram.”
“Ini suram Bang. Bukan karena mistis, tapi karena krisis.”
“Jadi rencana bagi-bagi sembako itu tepat sasaran kan?”
“Saya rasa bukan masalah sembakonya yang tepat, Bang. Tapi perlindungan nyawa mereka yang harus tepat. Percuma juga menyuruh mereka pergi. Mau apa? Menambah jumlah gelandangan?”
Selanjutnya, kami mendatangi Bapak Urip. Dari data yang kami miliki, dia seorang dukun pengasihan. Rumahnya terlihat layak dan mungkin hidupnya berkecukupan. Saya sempat ragu apa dia mau menerima undangan pembagian sembako?
Sayangnya dia tidak ada di rumah. Hanya putrinya yang beranjak remaja yang menemui kami. Dia bilang bapaknya masih di sawah. Sedangkan kami butuh foto dan identitas dirinya sebagai rencana jika saat hari pengumpulan itu dia tidak datang.
“Masih lama, Dik? Ini sudah hampir isya.”
“Bapak cari kodok. Kalau bapak-bapak tentara ini minta jampi-jampinya bapak, saya panggilkan dulu. Silakan masuk.”
Saya mengiyakan tanpa berpikir panjang jika jampi-jampi yang dimaksud adalah mantra pengasihan untuk seseorang. Begitu Bapak Urip datang dan memperkenalkan diri, Nazaruddin seketika mengarang cerita bahwa cinta saya bertepuk sebelah tangan. Bapak Urip terus mengawasi saya dari segala sudut, baru kemudian kembali duduk.
“Sudah punya pekerjaan bagus. Rupa juga bagus. Kok masih ada yang berani menolak? Siapa namanya?”