Saya terbiasa membawa buku catatan kecil dan hari itu tanggal lima belas bulan sembilan, saya menuliskan nama Marhadi sebagai langkah pertama penuntasan dendam. Pagi setelah mengisi daftar hadir di kantor, saya langsung meluncur ke rumah ibu Nariyah.
Saya pikir dengan mendatanginya, bisa cepat menemukan Marhadi dan memaksanya mengakui perbuatan biadab itu. Ternyata rumah ibu Nariyah kosong setelah berulang kali saya mengucap salam dan ketukan, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya ada ramai ayam di kandangnya. Saya memutari sekitar, mungkin saja perempuan itu sedang menjemur pakaian atau memasak di dapur yang terpisah di belakang rumah. Yang saya dapatkan hanya tatapan penasaran tetangga ibu Nariyah dari balik jendela.
Saya coba menyapa dan ingin menanyai tetangga ibu Nariyah tapi justru gorden ditutup rapat. Kelihatannya warga ketakutan ketika melihat aparat berseragam di sekitar rumah penduduk. Akhirnya saya putuskan mencari ibu Nariyah di pasar. Bisa jadi dia sedang berjualan.
Berbekal informasi minim tentang ibu Nariyah, saya mencari-cari lapak nasi miliknya. Memang ketemu, tapi ibu Nariyah tidak berjualan. Ketika saya tanya pada pedagang cenil yang ada di depan lapak ibu Nariyah, justru kabar menggelisahkan yang saya dengar.
Ibu Nariyah ternyata sudah tidak berjualan sejak hari kematian ibu. Dari keterangan yang saya dapat, ibu Nariyah adalah orang terdekat ibu. Dia kelihatan sangat terpukul dengan kematian tragis sahabatnya. Sejak mendengar kematian ibu, ibu Nariyah terus berjalan keliling kampung, berubah jadi orang sinting yang meraung-raung sambil mengumpat nama suaminya dan nama kepala desanya. Kata warga sekitar, ibu Nariyah sudah kena getah ilmu yang dilakoni ibu hanya karena mereka selama ini terlihat begitu dekat.
Saya benci desas-desus. Saya melihat sendiri ibu Nariyah masih sehat. Dia hanya ingin terang-terangan melampiaskan kekecewaan. Andai saya berani seperti dia ....
Saya tidak punya kuasa mendalami kasus ibu. Status saya masih sebagai saksi dalam catatan kepolisian setempat. Pergerakan mereka mengusut terlalu lambat di mata saya. Sempat terpikir ada oknum yang sengaja menghambat. Yang bisa saya lakukan adalah mencari dengan cara sendiri.
“Kalau suami ibu Nariyah kerja di mana ya Bu?” Saya masih berusaha menggali informasi dari pedagang cenil.
“Marhadi? Dia biasanya mangkal di tambang pasir di kali utara sana, Pak tentara. Marhadi buat ulah lagi ya, Pak?”
Saya sempat takut masuk pasar dengan berseragam tapi ternyata lebih menguntungkan ketika pedagang cenil menuturkan tentang kelakuan Marhadi.
Laki-laki yang katanya dikenal sebagai preman tambang pasir itu sering memprovokasi orang lain untuk menyerang orang-orang yang menentangnya. Bahkan dia berkali-kali berurusan dengan polisi dalam kasus penyerangan, tapi kemudian bebas dalam waktu cepat. Informasi singkat itu sudah cukup bagi saya untuk melangkah lebih dalam mencari jejak Marhadi.