Senja kelima sejak kematian ibu, saya kembali lagi ke rumah yang tinggal puing-puing itu. Di balik pohon asam yang terluka karena guratan tanda silang, saya berharap bisa melihat ibu keluar dari rumahnya, seperti kali pertama saya melihatnya di titik yang sama. Namun yang saya temukan di sana bukan Ibu Merah, ada ibu lain yang duduk bersama anak perempuannya di sisi tembok yang roboh. Bisa jadi itu ibu Nariyah bersama putrinya. Dua hari sudah saya mencari ibu Nariyah, akhirnya takdir mengulang pertemuan kami seperti senja sebelumnya.
Saya menyapa ibu Nariyah dengan halus, namun perempuan yang menoleh bukan yang saya harapkan. Perempuan yang mungkin seusia ibu atau lebih itu langsung berdiri dan mendekap anak gadisnya. Wajahnya benar-benar takut melihat saya.
“Sampean siapa? Mau apa?”
“Maaf kalau saya mengagetkan Ibu. Tapi sepertinya tempat ini belum bisa dimasuki sembarangan.” Sengaja saya tunjuk garis polisi yang masih melingkar.
“Sampean polisi?”
“Bukan.”
“Bukan polisi kok nglarang-nglarang? Urusan sampean apa di sini?”
“Anggap saja sama seperti Ibu. Mengenang kepergian orang terdekat.”
“Orang terdekat? Sampean siapanya Dik Merah? Kok aku ndak pernah lihat sebelumnya?”
Saya temukan satu lagi orang yang masih peduli dengan kematian ibu saya. Pasangan ibu-anak itu begitu kentara dukanya.
“Memangnya berapa lama Ibu kenal Ibu Merah?”
“Ya lama. Seumuran anakku ini. Malah lebih. Dik Merah sudah tak anggap saudara sendiri. Dia sudah jadi ibu kedua buat anakku ini.”
Mungkinkah mereka yang disebut ibu Nariyah? Saya perhatikan gadis itu tidak berhenti menangis. Tubuhnya gemetar dan rapuh jika tidak ditopang ibunya. Seberapa besar arti kehadiran ibu saya untuknya?
“Ibu Darsinah dan Triyas. Benar?”
Ibu dan anak itu saling berpandangan, kemudian menatap saya penuh dengan rasa penasaran.
“Sampean siapanya Dik Merah? Kok bisa kenal saya dan putri saya?”
Andai ibu bisa melihat, di rumah ini saya kembali bangga memperkenalkan identitas baru saya.
“Saya putranya Ibu Mestika Merah dan Bapak Bukhari Ismail.”
Jawaban saya seketika menghentikan tangis gadis itu dan menegangkan garis wajah perempuan yang berbicara dengan saya.
“Anak? Sampean bener-bener anaknya Dik Merah?”
“Anak yang sudah diambil paksa oleh orang yang punya kuasa. Kalau boleh, saya mau bertanya sesuatu soal ibu saya.”