Kematian kedua yang saya saksikan memupuk bibit-bibit dendam. Benar kata Nazaruddin, saya seperti dijadikan umpan. Keluarga Pak Urip yang semula percaya pada cerita saya, berbalik memusuhi dan mengusir sewaktu saya datang di acara tahlil kematian di malam ketiga. Di depan banyak orang, istri Pak Urip menuding saya dan seluruh kesatuan saya sebagai pencabut nyawa. Jongos sang pemimpin yang takut dilengserkan. Bahkan dengan lantangnya, istri Pak Urip memperingatkan siapa pun warga yang menolak keputusan dipimpin oleh presiden yang sama lagi, pasti akan dibunuh.
Saya merasa orasi itu lebih pantas diucapkan dalam demo-demo di jalanan kota, bukan acara tahlilan. Ada penyusup di sini. Nazaruddin yang menemani saya waktu itu juga berpikir sama. Setenang apa pun kami melakukan pembelaan, tatapan warga jelas menunjukkan ketidakpercayaannya. Kami pilih undur diri. Lalu anak perempuan Pak Urip yang pernah menemui kami itu diam-diam membuntuti kami. Mata polosnya mengatakan kejujuran.
“Kemarin ada orang ke sini, Pak Tentara. Omong-omongan sama ibu, ngasih beras sekarung sama duit di amplop. Itu temannya Pak Tentara? Terima kasih ya, Pak Tentara.”
Saat itu juga saya dan Nazaruddin makin yakin ada pihak-pihak yang sengaja memecah dengan menyasar warga yang tak tahu apa-apa. Kami menyebutnya “Serangan Sembako”.
“Adik tahu namanya? Kalau temannya Pak Tentara pasti ada nama di dada begini di seragamnya,” ucap Nazaruddin.
“Ndak pakai seragam.”
“Kamu dengar nggak ibumu ngomong soal apa?” Saya segera dapat senggolan keras dari Nazaruddin dan mulutnya bergerak tanpa suara mengucap basa-basi sedikit lah. Bagi saya basa-basi sudah tidak dibutuhkan.
“Kayaknya tanya soal Pakde Bukhari, terus ada nama lagi yang disebutkan tapi aku ndak kenal siapa, Pak Tentara.”
“Kalau Pakde Bukhari kenal?” Saya langsung menyahut saat nama itu diucapkan.
“Kenal. Kan Pakde Bukhari temannya bapak. Baru nginep di sini juga hari minggu kemarin.”
“Terus dia ke mana?” cecar saya.
“Ndak tahu. Kata bapak, pulang ke rumahnya.”
“Terima kasih ya, Dik. Masuk sana. Hati-hati, banyak orang jahat di luar,” kata Nazaruddin.
Sewaktu saya berpamitan, anak perempuan itu menarik tangan saya dan berkata, “Pak Tentara bukan orang jahat kan? Pak Tentara bukan pembunuh bapak saya kan? Pak Tentara ndak akan bunuh ibu saya kan?”
“Kami pelindung, bukan pencabut nyawa.” Pernyataan saya itu suatu hari jadi pasak hidup saya.
***
Kematian Pak Urip mempertemukan saya kembali dengan Iptu Mahendra. Dalam dua kali kasus pembantaian sadis, saya selalu jadi orang pertama yang mengetahui, bahkan menggendong mayat korban. Siapa yang tidak percaya dengan kejanggalan itu? Bahkan komandan secara personal sudah menginterogasi saya. Pertaruhan saya satu, mengungkap lokasi makam ibu, membiarkan kepolisian membongkarnya dan mengarang alasan kenapa saya menyembunyikan makam itu tanpa perlu memberi tahu status saya sebagai anak korban. Itu akan menyelamatkan saya dari tuduhan.
“Kamu itu tidak terlatih berbohong, Dik Begja.” Nazaruddin menodong saya dengan pernyataan itu. “Mau sampai kapan menutupi? Pak Asan bilang kamu sangat terpukul dengan kematian Ibu Merah. Kamu terus penasaran dengan keberadaan Pak Bukhari. Mereka orang tuamu?”
Kepala saya memberat hingga membentuk anggukan.
“Terus Letkol Budiyanto itu ....”