Satu kecamatan gempar. Dalam tiga hari, warga menemukan karung berisi mayat tanpa kepala, telanjang dan tidak ada jari kaki juga tangan. Dua ditemukan di sawah, satu di waduk. Kejadian ini menambah ketakutan warga. Sewaktu saya kembali bertugas dari cuti yang menenangkan, saya berkeliling dengan Nazaruddin. Hampir semua kampung mengadakan penjagaan ketat. Jadwal ronda warga ditempel di masing-masing pintu rumah.
“Tiga hari kemarin ke mana? Pacaran sama Triyas?” Nazaruddin masih terus menggoda saya.
“Melakukan apa yang harus saya lakukan, Bang.”
“Melamar? Jangan kira saya tidak tahu kamu boncengan sama cewek kemarin.”
Senyum saya melebar. Puas. Bukan karena celetukan Nazaruddin, tapi karena tiga pembunuhan yang sudah saya lakukan untuk meningkatkan keamanan. Mereka pantas ditumbalkan. Dan ... masyarakat juga sudah yakin bahwa pembantaian bisa terjadi pada siapa saja.
Jasad anak Pak Samirin dan temannya memang sengaja saya buang di tengah sawah. Begini cara saya membalas teror mereka. Sedangkan Pak Samirin yang masih hidup meski tak sadarkan diri, saya bawa ke puskesmas beda kecamatan untuk dirawat. Sekadar mengurangi risiko ada yang mengenali saya.
Malamnya, selepas magrib, saya menepati janji saya ke rumah Nariyah. Meskipun Nariyah sudah mencuri dengar obrolan suaminya yang menggerakkan massa untuk membunuh ibu saya, tapi dia belum dengar dari mulut Marhadi sendiri. Celah itu yang saya rancang untuk meyakinkan diri kalau Marhadi pantas jadi korban saya selanjutnya. Dari balik tembok belakang rumahnya yang tanpa penerangan, saya mendengar percekcokan Nariyah dan Marhadi soal ibu saya. Puncaknya, dia mengaku jadi salah satu pembunuh ibu setelah beberapa hari memata-matai di waktu petang.
Duri dalam diri saya seketika membesar seukuran belati. Menusuk-nusuk kewarasan saya. Sakit ini harus dilampiaskan dengan cara serupa.
Saya matikan sekring rumah Nariyah. Balok kayu di tangan saya sudah siap menghantamnya. Bunyi pintu saya jadikan hitungan mundur. Cukup dua langkah Marhadi berjalan, sebelum dia ambruk karena hantaman tak terduga.
Ingin sekali rasanya saya menumbuk kepala Marhadi menjadi halus seperti tepung gaplek yang dijadikan campuran nasi tiwul dagangan ibu saya, tapi Nariyah menghalangi saya. Tubuh Marhadi diseret ke dalam rumah. Dalam kegelapan, saya merasakan amarah Nariyah yang tertumpah pada tubuh Marhadi yang diam. Nariyah mengambil rotan, mencambuk tubuh suaminya dengan segala umpatan kekesalannya. Kilau pisau daging yang tersorot cahaya dari luar menjadi isyarat saya untuk tak melihat. Satu yang saya tahu, Nariyah memotong kelamin dan lidah Marhadi.
“Giliranmu. Buat Yu Merah tenang di alam sana.”
Apa yang saya lakukan pada Marhadi, serupa dengan dua orang sebelumnya. Bedanya, saya menumbuk kepala Marhadi. Kami bermandi darah dari kepala Marhadi. Tubuh Marhadi yang terbungkus karung beras saya hanyutkan di sungai dekat rumahnya. Sungai yang mengarah ke sebuah waduk.
Nariyah memberi saya ucapan terima kasih berupa secarik kertas bertuliskan angka-angka. “Nomer telepon Pak Ali kalau butuh.”
Di hari ketiga saya mendatangi Triyas. Saya sudah pegang satu informasi. Ambulu. Triyas tahu dan mau mengantar saya. Hanya saja Bu Darsinah tidak setuju. Dia memberikan sesuatu yang mengguncangkan. Secarik kertas berisi daftar nama persis seperti yang saya miliki. Di sampingnya, tertulis angka berspidol merah. Tanggal kematian. Ada tiga tanggal yang sudah terlewat. Ibu saya, Pak Urip dan Pak Samirin. Dan ... ada satu tanggal yang kembali menumbuk halus kewarasan saya sampai jadi debu. Tanggal kematian ayah saya, Bukhari Ismail, 26398. Hari ini.
“Bu Darsinah tahu ini dari mana?”
“Bu Ali tadi malam datang. Pokoknya Triyas ndak boleh ikut. Dia belum sehat. Kalau ada apa-apa piye? Sampean berangkat saja cari Dik Bukhari, biar Triyas kasih tahu ancer-ancer rumah orang tuanya Dik Bukhari.”
“Aku mau ikut Mas Begja. Pak Bukhari juga bapakku. Ibu masih punya utang janji kan ke Mak Merah? Ingat? Aku wakilnya ibu buat nemenin nyari Pak Bukhari.”
Selagi Triyas berganti pakaian, saya kembali menanyakan soal catatan itu. Bu Darsinah mengatakan kalau Bu Ali menemukan itu ketika mau mencuci pakaian suaminya. Dia punya kebiasaan merogoh kantong pakaian sebelum dicuci dan menemukan itu. Kemudian Bu Ali baru berani datang ke rumah Bu Darsinah setelah magrib, saat suaminya tidak ada di rumah.
“Kenapa Bu Ali pilih ke sini?”
“Bu Ali tahu kalau masalah Triyas juga dijadikan alasan membunuh Dik Merah selain kematian cucunya. Orang sini siapa yang ndak tahu kalau Triyas sejak kecil sudah sama Dik Merah. Makanya Bu Ali langsung cerita. Mas Begja jangan ngomong ke siapa-siapa ya. Kasian Bu Ali kalau sampai ketahuan.”
Menemui Pak Ali dan menggorok kepalanya adalah tujuan puncak, tapi saya harus menahan keinginan itu. Waktu kematian ayah saya sudah tinggal hitungan jam. Bisa jadi orang-orang suruhan Pak Ali sudah menemukan posisi ayah saya. Hanya tinggal tunggu eksekusi saja.