Aku dengar ceritamu, Mas. Lihat, usahamu berhasil. Anak kita kembali. Kamu bisa mendekapnya. Aku juga, meskipun kalian tidak bisa merasakanku lagi. Semua memang ada harganya. Tapi rasanya nyawaku terlalu mahal. Iya kan, Mas? Kamu bisa bantu anak kita menagih kembalian atas nyawaku. Kepala para pembunuhku.
“Buk ... aku seperti dengar suaramu.”
Mas, itu memang suaraku. Jangan berputar-putar mencari. Aku ada di dekatmu. Aku lega kamu tidak apa-apa. Cuma apa yang dikatakan anak kita mungkin benar-benar terjadi padamu, Mas. Dia punya catatan yang disembunyikan. Isinya tanggal kematian orang-orang yang melakukan praktik perdukunan.
Dengar, Mas. Daftar nama itu memang sebagian Begja yang mengumpulkan. Niat anak itu baik, bahkan sejak awal bertemu dia sudah memperingatkanku. Aku lihat kebaikan anak itu. Persis seperti kamu yang ikhlas nolong orang. Masalahnya, dia sama terjepitnya seperti posisimu. Dia ke sini karena hari ini tanggal kematianmu. Bisa jadi mereka menyerangmu waktu malam. Sama seperti aku. Jangan sendirian, Mas. Suruh Begja menginap di sini. Dia bisa menghabisi orang-orang yang mau niat buruk ke kamu. Harus!
***
Suamiku benar-benar bisa mendengarku dan percaya. Dia memang menuruti apa kata Begja buat bersiap-siap pergi, tapi bukan hari ini. Apalagi ketika dua temannya datang. Nyawa mereka juga tinggal hitungan hari sebelum terlambat.
“Begja, apa bisa kamu menginap semalam di sini, Le?” Suamiku membisiki Begja agar tak terdengar Triyas.
“Sangat bisa. Kalau memang mereka ke sini, saya yang akan bantai mereka. Tapi saya nggak mau Triyas melihat.”
“Ayah yang atur.”
Hati ini rasanya makin berlubang melihat kebersamaan mereka. Andai Begja besar dalam dekapanku ....
Anak itu mengatur segalanya sesuai bisikanku. Dia memperkirakan akan ada sepuluh sampai lima belas penyerang, seperti yang terjadi padaku. Dia, suamiku, Sugiyanto dan Karmin mencari celurit dan parang, lalu mengasahnya bersama hingga kilaunya menunjukkan ketajaman. Kubisikkan pada anakku, beri aku paling sedikit tiga kepala. Kubisikkan pada suamiku, beri aku tontonan orang-orang yang sekarat dan mohon ampun atas kematianku. Kubisikkan pada Sugiyanto dan Karmin, bunuh mereka sebelum kalian dibunuh.
Menjelang Magrib, anakku mengantar Triyas ke rumah sebelah, masih rumah mertuaku tapi terpisah halaman. Pikirku jika Begja tidak bisa meyakinkan Triyas, aku akan terus membisikinya sampai dia menurut.
“Triyas, apa pun yang kamu dengar nanti, jangan keluar. Kunci kamar. Tetap di sini sampai saya jemput kamu. Saya pegangi kamu pisau. Hanya pakai kalau ada orang yang mendobrak masuk ke sini dan membahayakan kamu. Jangan takut membunuh.”