Aksi pembunuhan kedua yang saya saksikan memupuk bibit-bibit dendam. Benar kata Nazaruddin, saya seperti dijadikan umpan. Keluarga Pak Urip yang semula percaya pada cerita saya, berbalik memusuhi dan mengusir sewaktu saya datang di acara pemakaman. Di depan banyak orang, istri Pak Urip menuding saya dan seluruh kesatuan saya sebagai pencabut nyawa. Jongos sang pemimpin yang tidak rela dilengserkan. Bahkan dengan lantangnya, istri Pak Urip memperingatkan siapa pun warga yang menolak keputusan dipimpin oleh presiden yang sama lagi, pasti akan dibunuh.
Saya merasa orasi itu lebih pantas diucapkan dalam demo-demo di jalanan kota, bukan acara pemakaman. Saya merasa ada penyusup di sini. Nazaruddin yang menemani saya waktu itu juga berpikir sama. Setenang apa pun kami melakukan pembelaan, tatapan warga jelas menunjukkan ketidakpercayaan. Kami pilih undur diri. Lalu anak perempuan Pak Urip yang pernah menemui kami itu diam-diam membuntuti kami. Mata polosnya mengatakan kejujuran.
“Tadi pagi ada orang ke sini, Pak Tentara. Omong-omongan sama ibu, ngasih beras sekarung sama duit di amplop. Itu temannya Pak Tentara? Terima kasih ya, Pak Tentara.”
Saat itu juga saya dan Nazaruddin makin yakin ada pihak-pihak yang sengaja memecah belah dengan menyasar warga yang tak tahu apa-apa. Kami menyebutnya “Serangan Sembako”.
“Adik tahu namanya? Kalau temannya Pak Tentara pasti ada nama di dada di seragamnya,” ucap Nazaruddin sambil menunjuk badge nama.
“Ndak pakai seragam.”
“Kamu dengar percakapan ibumu dengan tamu itu?” Saya segera dapat senggolan keras dari Nazaruddin dan mulutnya bergerak tanpa suara mengucap basa-basi sedikit lah. Bagi saya basa-basi sudah tidak dibutuhkan.
“Kayaknya tanya soal Pakde Bukhari, terus ada nama lagi yang disebutkan tapi aku ndak kenal siapa, Pak Tentara.”
“Kalau Pakde Bukhari kenal?” Saya langsung menyahut saat nama itu diucapkan.
“Kenal. Kan Pakde Bukhari temannya bapak. Aku sering diajak main ke rumahnya.”
Sebenarnya saya ingin mengulik lebih banyak hal soal bapak saya, tapi Nazaruddin lebih dulu mengakhiri percakapan antara kami dengan putri Pak Urip.
“Terima kasih ya, Dik. Masuk sana. Hati-hati, banyak orang jahat di luar,” pesan Nazaruddin.
Sewaktu saya berpamitan, anak perempuan itu menarik tangan saya dan berkata, “Pak Tentara bukan orang jahat kan? Pak Tentara bukan pembunuh bapak saya kan? Pak Tentara ndak akan bunuh ibu saya kan?”
“Kami pelindung, bukan pencabut nyawa.” Pernyataan saya menjadi pasak hidup yang sewaktu-waktu bisa menahan keinginan nurani saya.
***
Kematian Pak Urip mempertemukan saya kembali dengan Iptu Mahendra. Dalam dua kali kasus pembantaian sadis, saya selalu jadi orang pertama yang mengetahui, bahkan menggendong mayat korban. Siapa yang tidak percaya dengan kejanggalan itu?
Iptu Mahendra menggiring saya untuk bicara berdua. Dia mempertanyakan hal yang langsung menghunjam akal sehat saya. Katanya saya terlihat seperti pasukan khusus yang menyamar untuk membersihkan langsung apa yang diperintahkan atasan. Katanya pula, pihaknya tidak bisa salah ambil tindakan untuk mengusut kasus pembunuhan yang melibatkan saya sebagai saksinya. Pernyataan Iptu Mahendra membuat saya mengambil kesimpulan sepihak bahwa itulah alasannya kematian ibu tidak lagi dianggap penting.
Selepas saya menghadiri acara pemakaman Pak Urip, komandan secara personal menginterogasi saya. Mulai dari pembahasan soal kematian ibu, juga kesaksian saya soal pembunuhan Pak Urip. Komandan merasakan kecurigaan yang sama dengan saya soal penyusup yang ingin menjatuhkan nama baik kesatuan kami lewat keterlibatan saya. Komandan memperingatkan saya untuk bergerak hati-hati.
Kemudian komandan menggiring pada masalah makam ibu yang tidak diketahui siapa pun kecuali saya. Itu jadi tanda tanya besar para penyidik. Komandan seperti didesak untuk mencari keterangan langsung dari pengakuan saya. Pertaruhan saya satu, mengungkap lokasi makam ibu, membiarkan kepolisian membongkarnya dan mengarang alasan kenapa saya menyembunyikan makam itu tanpa perlu memberi tahu status saya sebagai anak korban. Itu akan menyelamatkan saya dari tuduhan, tapi bisa jadi menyakiti ibu di alam sana.
Saya hanya bisa mengaku seperti apa yang saya ucapkan pada penyidik kepolisian bahwa saya menguburkan ibu di tempat yang tidak diketahui siapa pun untuk menghindari kegaduhan warga. Setelah ibu meninggal saja, kabar burung tentang arwah ibu yang bergentayangan terus mengalir dari mulut ke mulut.
Begitu selesai diinterogasi, Nazaruddin menunggu kesempatan untuk bisa menggeret saya keluar kantor. Di tempat parkir dia menodongkan pertanyaan yang tak bisa saya bantah.