Minggu pagi sekitar pukul tujuh saya mendatangi rumah Pak Ali. Sejak terhentinya penyelidikan kesaksian kematian ibu, sebenarnya saya sudah dua kali ke rumah Pak Ali dan hasilnya nihil. Pak Ali tak pernah ada di rumah. Mungkin saat itu karena hari aktif, kali ini saya ingin datang lebih dulu sebelum laki-laki itu pergi.
Sampai di sana saya kembali ditemui oleh Bu Ali. Lagi-lagi dia mengatakan Pak Ali tidak di rumah. Ketika saya mengatakan akan menungguinya sampai Pak Ali pulang, Bu Ali tampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. Dia justru mengalihkan pembicaraan.
“Mas Begja, kalau mau membuat laporan ke polisi itu apa nanti nasibnya pelapor itu pasti aman ya?”
“Bu Ali ingin melaporkan soal apa? Kehilangan atau tindak kriminalitas?”
“Bingung juga masuknya ke mana. Itu juga belum pasti kebenarannya.”
Ketika saya berusaha memahami maksud Bu Ali, perempuan itu beranjak meninggalkan saya sebentar. Bu Ali kembali dengan secarik kertas yang sudah lecek. Tanpa berkata apa pun, Bu Ali menyodorkan kertas itu pada saya.
Tulisannya sudah agak luntur tapi masih bisa terbaca. Seketika saya lupa cara bernapas saat selesai mengamatinya. Di situ tertulis dua puluh lima nama seperti yang ada dalam daftar nama orang-orang pelaku praktik perdukunan yang saya miliki. Bedanya, di sebelah nama mereka, ada kombinasi kode tiga angka yang mengerikan. Tanggal kematian. Dua nama yang telah terbukti adalah nama ibu dan Pak Urip. Siapa penulis yang nekat melangkahi kuasa Tuhan menentukan ajal manusia?
Jantung saya seperti genderang yang ditabuh kencang dan rasanya ngilu luar biasa begitu mata saya sampai pada nama bapak saya, Bukhari. Angka yang tertulis di sampingnya adalah 249. Jika tulisan itu bisa dipercaya maka empat hari lagi ada manusia-manusia biadab yang mengambil nyawa bapak.
Tiba-tiba saya tersadar, apa ini salah satu bentuk propaganda yang disebar oknum tertentu? Ini masa huru-hara. Kematian di mana-mana. Bagaimana bisa Bu Ali mendapatkan data sepenting itu?
“Ini nemu di sakunya bapak waktu nyuci kemarin. Saya kira cuma catatan biasa. Sampai saya sadar ada nama Bu Khari dan suaminya di situ. Mungkin penting. Kalau saya lapor polisi apa suami saya aman, Mas Begja? Saya takut, apalagi sudah ada dua warga desa sini yang jadi korban. Meskipun Pak Dzikri namanya ndak masuk di daftar itu.”
Saya meminta Bu Ali untuk menahan dulu catatan itu. Kalau perlu Bu Ali bertindak seolah-olah tak pernah melihatnya. Saya sedikit memaksa Bu Ali untuk memberitahukan keberadaan Pak Ali dengan alasan demi keselamatan Pak Ali. Perempuan itu akhirnya buka suara.
Pak Ali sering terlibat acara yang mengatasnamakan kecamatan. Bu Ali tidak pernah tahu itu acara apa. Yang pasti Pak Ali jarang pulang. Dalam seminggu hanya dua kali saja, tidak tentu harinya. Bu Ali sebenarnya sudah mencurigai keanehan suaminya belakangan ini, tapi dia hanya diam. Sampai pada kematian ibu saya yang membuat Bu Ali makin puasa bicara pada Pak Ali.
“Saya kecewa, Mas. Bapak harusnya bisa membela warganya sendiri. Bu Khari itu orang yang sudah nolong cucunya. Sebenarnya tole itu sudah mendingan setelah disuwuk Bu Khari. Terus besoknya, anak saya datang. Dia bawa tole, katanya ke rumah sakit. Ternyata dibawa ke mantri. Syafri sudah bohong ke saya, Mas. Dia bilang tole itu keracunan air yang diberikan Bu Khari. Dia nyebar fitnah. Padahal pak mantri waktu datang melayat itu ngomong ke saya kalau tole itu kena demam berdarah dan harus opname karena sudah parah. Saya merasa berdosa dengan Bu Khari, Mas. Tiap hari rasanya saya didatangi Bu Khari. Lebih baik saya tidak punya anak seperti Syafri. Saya malu sekali, Mas.”
Syafri dan Pak Ali, saya masukkan dalam jajaran nama bertinta merah dalam catatan saya. Gemuruh dalam dada ini meletup-letup ingin pecah. Bu Ali seperti membuka izin untuk saya memecahkan apa yang sudah membengkak di dada.
“Ini masih masa berkabung kan Bu Ali? Apa Mas Syafri pulang ke sini tiap hari?”
“Ndak, Mas. Syafri dan bapaknya sama saja. Seperti tidak peduli dengan rasa sakit hati saya. Mereka sibuk ngurus acara pemerintah, acara di rumah sendiri cuma numpang nama.”
Saya ingin pamit pulang setelah berpesan pada Bu Ali jika sewaktu-waktu Pak Ali pulang, Bu Ali bisa mendatangi saya di koramil atau alamat tinggal saya, tapi ada yang tiba-tiba mengingatkan saya. Soal ibu Nariyah.
“Bu Ali, saya dapat info kalau ibu Nariyah sering kemari. Benar?”
“Iya. Dia terus-terusan mengumpat nama bapak sebagai biang kerok kematian Bu Khari.”