Pak Ali, tunggu waktu kematianmu. Satu dukun mungkin bisa sampean atasi. Tapi aku punya tiga dukun yang mendengar perintahku sekaligus. Seberapa kuat sampean bertahan?
Setelah anakku pergi malam itu bersama Triyas, suamiku tidak benar-benar pergi. Malam berikutnya dia meniupkan mantra kematian bersama Sugiyanto dan Karmin di bekas rumahku. Harusnya aku tenang setelah bola-bola cahaya melesat ke arah rumah Pak Ali. Bersama bola-bola cahaya itu aku datang. Ketenangan ini belum menemui ujung sampai aku melihat Pak Ali mohon ampun di depanku dan mati.
Pak Ali gelisah di ruang tamu. Mondar-mandir seperti menunggu sesuatu. Bola-bola cahaya yang datang tak disadarinya menyusup lewat punggung. Ini waktunya.
Tepat saat aku akan membisikinya, telepon rumah Pak Ali berbunyi. Wajahnya seketika memucat saat mengangkatnya. Aku tahu itu suara siapa. Suamiku.
Malam ini kematianmu.
Ucapan di seberang sana, sama persis dengan bisikanku. Gagang telepon itu terjatuh. Menggantung. Tapi suamiku tidak mematikan sambungan telepon itu.
Aku menikmati pemandangan ini. Pak Ali gemetar, mencari sandaran. Dia mulai menggeliat, bergelung memegangi perutnya. Suaranya serak memanggil istrinya. Karena tak digubris, dia berteriak lebih kencang. Terbatuk tanpa henti dan ... darah itu keluar dari mulutnya. Pertama hanya bercak di antara muntahan sisa makanan, kemudian semburan, lantas gumpalan darah.
Laki-laki itu kembali meraih gagang telepon. Menangis di sana.
“Ampuuuunnn ... Bukhari. Ampuuuunnn. Aku masih mau hidup. Tolong.”
Nyawa tidak akan pernah bisa kembali dengan bayaran tangis penyesalan, Pak Ali.
Dia merayap menuju kamar. Sekadar mengangkat lengan untuk mengetuk pintu saja dia tak mampu. Batuknya yang tak henti-henti, akhirnya membangunkan Bu Ali. Perempuan itu hanya berdiri angkuh tanpa ada keinginan menolong suaminya yang terus menyemburkan darah.
“Bapak sudah main-main sama masalah.”
“Bu .. kan ... a ... ku, Buk.”
Bu Ali, apa sampean percaya dengan omongan suami sampean? Ingat kertas catatan yang berisi nama dan tanggal kematian orang lain yang sampean temukan? Ingat bagaimana Pak Ali tidak peduli dengan cucu sampean waktu sakit? Ke mana dia? Merencanakan pembunuhan.
“Terus siapa kalau bukan sampean, Pak? Cari perkara! Rasakan sendiri sakitnya.”
Bu Ali menutup pintu kamarnya dan suaminya mengemis pertolongan. Pak Ali baru berhenti memohon saat dengar bisikanku.
“Bu ... Khari?”
Ya, Pak Ali. Ini aku. Orang yang selalu sampean hindari karena sampean menyembunyikan informasi soal suamiku. Kenapa?
“Ampun ... Bu. Itu ... demi ... keselamatan ... Pak ... Bukhari.”
Selama hidup aku tak berani mencekik leher orang yang membuat hati ini menyimpan dendam. Akhirnya wujud arwah ini memuaskanku. Aku bisa melihat mata Pak Ali melebar nyaris lepas bersamaan dengan mulutnya yang kehabisan napas.
Keselamatan apa yang sampean tawarkan ke suamiku, Pak Ali? Kenapa aku juga tidak ditawari keselamatan, Pak Ali? Sampean tahu aku mau dibantai. Sampean tutup mata. Picek. Budeg. Langsung mati itu terlalu enak buat sampean, Pak Ali.
Lelaki itu terbatuk-batuk lagi dengan napas makin tersengal karena aku masih mencekiknya. Darahnya menyembur lagi. Lalu ada gumpalan yang keluar berisi seperti jarum-jarum yang berkilau terkena sorot lampu.
Terbata-bata Pak Ali beralasan kalau ada polisi yang mencari suamiku. Ada surat tugas pemanggilannya. Katanya, suamiku dianggap membuat rusuh dan mencelakakan orang saat aduan sapi. Itu sebabnya Pak Ali melarang suamiku pulang dan menyembunyikan soal telepon suamiku dan surat-surat yang dikirimkannya. Takut dijadikan barang bukti. Sedangkan keselamatanku dijadikan ancaman agar suamiku tak pulang.
Siapa yang bertanggung jawab atas kematianku, Pak Ali? Siapa yang bertanggung jawab pada penyerangan suamiku, Pak Ali? Siapa?
“Bukan ... aku.”