MANTRA MERAH

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #18

TUTUR BEGJA ~ 18

Rencana saya mendatangi ibu Nariyah gagal. Badan saya belum berhenti gemetar semenjak pulang dari rumah Pak Samirin. Semua terlalu cepat terjadi. Dua lelaki berubah jadi mayat di tangan saya. Ini kesalahan terbesar dalam hidup saya. Cengkeraman rasa takut terus membuat saya mendekam dalam kamar kos. Saya berharap tidak ada yang memergoki saya membuang tubuh dua lelaki saat petang datang. 

Pak Samirin yang tidak sadarkan diri membuat saya merasa aman. Saya lebih dulu membawanya ke puskesmas untuk dirawat sebelum saya mengurus dua mayat. Pegawai puskesmas tak butuh identitas saya, asal saya memberikan cukup biaya pengobatan. Begitu Pak Samirin dibawa ke ruang perawatan, saya meninggalkannya sendiri. 

Masih dalam kondisi gemetar, saya mencoretkan tanda silang di kalender bertanggal dua puluh. Satu nama berhasil selamat. Saya buka catatan nama orang-orang dalam daftar incaran, nama Soleh saya coret dengan tinta merah. Saya tidak tahu apa laki-laki tadi Soleh yang sama dengan orang yang dimaksud ibu Darsinah. Saya hanya peduli ada nyawa yang tak berdaya dan tanpa salah akan dicabut oleh manusia-manusia lancang. 

Ketika perasaan bersalah saya kembali menggerogoti hingga membuat panas dingin, hanya bayangan ibu yang tumbuh dalam pikiran saya. Dia muncul di samping saya, menepuk lembut pundak saya, menguatkan dengan perkataannya. 

Le, kamu hebat. Begitu harusnya seorang pengayom masyarakat. Langsung bertindak. Ibu bangga. Teruskan, Le.” 

Senyum saya terbit dan tak mau tenggelam. Ketakutan saya seketika lepas. Ternyata seperti itulah cara membuat ibu bangga. Saya akan melakukannya lagi, Bu. Segera. Ibu akan melihatnya. 

*** 

Perjalanan detak jam begitu lambat menuju titik sembilan. Saya mencoba mengawali tidur dengan berandai-andai bagaimana cara senyap menghilangkan manusia. Tapi kemudian telinga saya tergelitik dengan kegaduhan di luar kamar. Begitu keluar, saya mendengar jelas pemilik rumah sedang mengamuk. 

Sepertinya bapak kos saya mempermasalahkan tentang lahannya yang berganti nama jadi menantunya. Sedangkan anaknya ingin bercerai tapi justru dimaki-maki. Masalah keluarga. Telinga saya tak punya hak untuk mendengar lebih banyak. 

Baru saja saya berbalik masuk kamar hendak berbaring lagi, gebrakan disertai umpatan kasar bapak kos berhasil mengusir perempuan yang saya kenali keluar dari rumah induk. Ibu Nariyah. Kami berpandangan sesaat, kemudian dia pergi dengan gegas mengayuh sepedanya. 

Niat saya menenangkan diri pupus, digantikan rencana menguntit ibu Nariyah. Saya nekat mengikutinya dalam jarak yang tak terjangkau mata ibu Nariyah. Jalanan dan warga sekitar sudah sepi. Malah beberapa rumah sudah mematikan lampu teras, menyisakan lampu jalan saja sebagai tanda si empunya rumah akan tidur pulas. Saya sebenarnya ragu bertamu malam, apalagi dalam kondisi carut-marut seperti ini. 

Ibu Nariyah rupanya tidak mengarah pulang. Dia terus mengayuh ke arah yang saya kenali, rumah ibu. Gelap pekat di sana, tapi ibu Nariyah nekat menerobos. Mungkin dia mendengar gerung motor saya yang makin dekat sehingga ibu Nariyah berdiri menantang ke arah jalan masuk rumah ibu. 

“Siapa?” Suara ibu Nariyah menyiratkan ketakutan. 

“Saya Begja, Bu Nariyah. Putranya ibu Merah.” 

Ragu-ragu ibu Nariyah mendekati saya. Nafas leganya terdengar jelas di telinga saya. 

“Buat apa Bu Nariyah ke sini malam-malam?” 

“Sampean sendiri buat apa ke sini malam-malam?” 

Saya berharap ibu Nariyah melihat senyum saya yang belum surut sejak mendengar suara ibu dalam pikiran saya. “Apa salah anak pulang ke rumah orang tuanya, Bu Nariyah?” 

“Aku kesini karena ndak tahu mau pulang ke mana lagi, Mas. Sampean dengar sendiri kan tadi? Bapakku ndak mau nerima aku lagi.”  

“Memangnya kenapa dengan rumah Ibu Nariyah?” 

“Marhadi ngamuk, mukuli aku. Berkali-kali ngomong kalau aku kudu mati. Aku teriak-teriak minta tolong sama tetangga ya percuma. Mereka takut sama Marhadi. Aku bisa kabur setelah nekat dorong Marhadi sampai nggeblak. Semingguan aku cari aman di tempat lain. Hari ini pulang ke rumah bapak minta pembelaan, malah aku yang disalahkan. Katanya aku ndak becus jadi istri. Aku pengen pulang saja sama Yu Merah di sini.” 

Mendengar kata Marhadi, darah ini seperti aliran air terjun. Saya tahu jika ibu ada di sini, dia akan membuka rumahnya untuk ibu Nariyah, mendengar masalah sahabatnya dan meminta saya menyelesaikannya. 

Hawa dingin berembus meniupkan aroma bidara dan suara yang pernah saya kenali. “Tolong bantu Nariyah ya Le. Marhadi sudah buat dia menderita. Biar dia hidup bahagia sama anaknya saja.” 

Lihat selengkapnya