Aku melayang tanpa tujuan. Orang-orang itu mulai menumpuk batang-batang kayu di bawah kaki suamiku. Teriakanku tak menembus telinga mereka. Sedikit pun tak ada ketakutan di wajah mereka. Aku arwah tapi mereka lebih pantas menjadi setan. Tak bisa disentuh dan tidak punya perasaan.
Kuikuti kelompok lain yang berboncengan menuju tempat anakku. Aku harus mengingatkan Begja lebih dulu. Oh anakku, melihatmu terlelap seperti itu mengingatkanku pada masa bayimu yang belum bisa sempurna membuka mata.
Le, bangun. Ada bahaya mengincarmu.
Le, bangun. Ayahmu diikat seperti binatang dan mau dibakar.
Le, bangun. Cari bantuan.
Di panggilan ketiga, anakku baru terbangun. Bisakah dia melihatku?
Suara motor yang berhenti memancing Begja menengok ke luar jendela kamarnya. Itu, Le, orang-orang itu yang mengincarmu. Mereka bukan orang kampung. Lari, Le. Meskipun mereka bertamu baik-baik, itu cuma kedok. Jangan buka pintu kamarmu, Le.
Kenapa di saat seperti ini bisikanku malah tak didengar?
Enam orang mendobrak kamar anakku. Meskipun Begja bisa melawan mereka, tapi mereka menang jumlah. Tepat di depanku tongkat besi dihantamkan di kepala anakku. Ibu mana yang kuat melihatnya? Anakku ambruk, ditendang, diinjak kemudian diikat dan diseret di belakang sepeda. Punggungnya memarut jalan makadam dan aspal. Siapa sebenarnya mereka? Tidak takutkah mereka dengan status pekerjaan anakku?
Di mana harus kucari bantuan? Siapa yang bisa mendengarku? Suamiku dan anakku diikat di lahan kosong yang sudah siap dengan kayu bakar.