MANTRA MERAH

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #19

TUTUR BEGJA ~ 19

Sepagian saya memilih diam di dalam kantor menemani Serma Ahmad yang senang menggauli mesin tik. Mimpi buruk sudah membuat saya terjaga semalaman dan menyedot habis energi saya untuk menjalankan pekerjaan. Begitu obrolan terasa kering dan mulai menyerempet perubahan pada diri saya pagi itu, saya meninggalkan Serma Ahmad dan pilih memangkas daun-daun tanaman pagar yang terlalu rimbun. Beberapa kali gunting yang saya pegang terjatuh karena efek gemetar yang belum juga hilang. Di antara bunyi ranting yang tergunting, saya dengar suara saya sendiri yang mengatakan kami pelindung, bukan pencabut nyawa. Ya, saya hanya melindungi. Saya yakinkan itu berkali-kali dalam hati. 

Kemudian Pak Asan yang terlihat baru datang dari mencari rumput, membelokkan sepedanya ke halaman koramil. Dia mendatangi saya dengan membawakan sebungkus nasi tiwul untuk makan siang. Katanya itu titipan dari ibu Nariyah, resepnya dari ibu saya. Saya masih berharap bungkusan nasi tiwul itu benar-benar buatan tangan ibu saya. 

“Bagaimana kasus ibunya Pak Tentara? Sudah ada tanda-tanda pelakunya?”  

Saya tahu Pak Asan peduli dengan kedukaan saya. Beberapa kali dia menawari untuk sementara tinggal bersamanya jika saya butuh teman berkeluh kesah. Saya menolak, bukan karena merasa kuat tapi lebih baik saya menyelesaikan dengan cara sendiri dibandingkan menghabiskan waktu berkeluh kesah dan menunggu informasi yang tidak jelas. 

“Putus tengah jalan, Pak Asan. Saya tidak diberi kabar lanjutan apa pun. Mungkin karena mereka menganggap ibu Merah tidak punya kerabat, jadi dibiarkan saja.” 

“Ya kalau caranya seperti itu pantes di sini banyak orang mati.” 

Saya berusaha menahan rasa gemetar di tangan agar tak mengalir lebih deras ke seluruh tubuh. Kata banyak yang dimaksudkan Pak Asan rupanya terkait berita penemuan dua mayat tadi pagi. Warga menemukan satu mayat di hutan jati Desa Jatian dalam kondisi buntung tanpa kaki dan tangan. Lehernya jelas bekas luka gorok. Tidak ada identitas yang diketahui karena wajahnya remuk. 

Ada lagi mayat yang ditemukan di persawahan, masih di Desa Jatian. Kondisi mayat mirip dengan yang ditemukan di hutan jati. Buntung tanpa tangan dan kaki, wajah remuk dan leher bekas digorok. Pak Asan menduga mayat itu pasti mengalami tuduhan seperti ibu. 

“Terus ada kejadian lagi, Pak Tentara. Katanya itu pawang hujan di desa Kali Wetan sana juga dianiaya orang. Untungnya ada yang nolong dan bawa dia ke puskesmas, jadi selamat.” 

“Kabar itu bisa dipercaya, Pak Asan?” 

“Sekarang berita seperti itu ya cepet nular dari mulut ke mulut. Pembunuhannya pasti, tapi penyebabnya itu yang ndak pasti. Jangan-jangan beritanya ngawur kayak cerita Bu Merah.” 

“Coba nanti saya cek, siapa tahu teman saya yang tugas keluar dapat berita yang benar. Pak Asan ketemu sesuatu yang aneh lagi selain itu?” 

“Kalau sesuatu yang aneh ndak ada, Pak Tentara, cuma tadi waktu cari rumput dekat rumahnya pak kades Tirta Arum itu papasan sama orangnya. Saya sampaikan pesannya Pak Tentara ke pak kades.” 

“Berarti Pak Ali ada di rumah sekarang?” 

Pikiran saya tak tenang sejak saya melihat tanggal kematian di deretan daftar nama yang diberikan Bu Ali. Saya harus segera mungkin menemui Pak Ali. 

“Nah itu. Pak Ali tadi kesusu keluar, boncengan sama istrinya. Katanya anaknya yang jadi anggota dewan atau apa itu, masuk rumah sakit. Muntah darah terus-terusan.” 

Saya ingin mengorek informasi lanjutan soal Syafri, anak Pak Ali yang masuk dalam daftar merah saya. Namun motor Nazaruddin yang berbelok kencang, berhenti tepat di depan saya dan Pak Asan. Dia tiba-tiba mengatakan wilayah kami masuk zona merah kasus pembunuhan. 

Setelah Nazaruddin memarkir motor, dia mengajak saya ke beranda, membicarakan temuan yang didapatkannya. Pak Asan izin pamit pulang karena tak ingin mengganggu pekerjaan kami. 

Seperti kebiasaan hariannya, Nazaruddin selalu ke pasar setelah mengisi daftar hadir. Baginya pasar adalah tempat informasi paling cepat yang bisa dia dapatkan dari warga, tak peduli benar atau hanya kabar burung saja. Kabar pertama yang dia dapatkan adalah penemuan mayat di wilayah kali utara dekat areal tambang pasir. Identitasnya sudah terkonfirmasi sebagai warga Desa Tirta Arum. 

“Kalau itu saya tahu. Saya ikut dalam pemakamannya Sabtu sore kemarin.” 

Nazaruddin tercengang, sebab dia tahu hari itu saya pulang lebih dulu setelah pembongkaran jenazah ibu. 

“Itu kerabatmu?” 

“Itu bapaknya Triyas.” 

Nazaruddin langsung merangkul saya penuh iba. Dia mengucapkan belasungkawa. Lalu Nazaruddin membeberkan lagi temuan mayat. Saya sudah berpikir itu pasti mayat Marhadi yang saya buang ke waduk. Ternyata Nazaruddin menyebut nama Pak Mualim, seorang guru mengaji dan marbot yang desas-desusnya dianggap sebagai dukun juga. 

Mayatnya ditemukan dekat jalan kampung daerah Ringin. Kondisinya masih utuh, hanya saja lehernya ada bekas jerat tali, kulitnya mengelupas karena diduga diseret menggunakan sepeda motor. Banyak luka lebam juga di tubuhnya. 

Lihat selengkapnya