Menjelang magrib, ibu Darsinah belum juga kembali. Saya sudah menemani Triyas menemui para tetangga yang mungkin saja melihat ibunya. Jawaban mereka sama, tidak melihat ibu Darsinah sejak pagi.
Saudara dari orang tua Triyas sudah berdatangan sejak sore untuk membantu mempersiapkan acara tahlil mendiang bapak Triyas. Mereka menyalahkan Triyas yang tidak menemani ibunya ke polres tadi siang. Padahal Triyas bercerita pada saya jika dia sudah nekat ingin ikut tapi ibunya memaksa Triyas tetap di rumah, bahkan mengunci Triyas di dalam. Untungnya Triyas berhasil keluar dengan mencopoti kaca jendela krepyak.
“Mau cari ibu ke mana lagi aku, Mas? Apa perlu aku balik lagi ke polres?”
Di teras rumah Triyas, saya masih bertahan menemaninya. Dia sudah berpikir ibunya akan mengalami hal serupa dengan bapaknya.
“Coba telepon Aryanto.”
“Buat apa?”
“Dia ada di polres tadi bersama bapaknya. Bisa jadi bapaknya menceritakan soal kedatangan ibumu ke Aryanto.”
“Nggak mungkin Mas Aryanto mau ngomong sama aku setelah kejadian di makam. Mas Begja lihat sendiri responnya waktu ketemu aku tadi.”
“Tanya saja dulu.”
Saya mengantar Triyas ke sebuah wartel yang berjarak sekitar setengah kilometer dari rumahnya. Triyas menolak memakai telepon rumah karena takut pembicaraannya di dengar keluarganya yang berkumpul. Begitu memasuki bilik, Triyas masih ragu mengangkat gagang telepon. Dari luar, saya mengangguk sebagai isyarat pada Triyas untuk meneruskan langkah mencari keberadaan ibunya.
Mungkin hanya sekitar dua menit Triyas berada di bilik KBU nomor 3. Dia keluar dengan linangan air mata. Katanya, Aryanto memang tahu ibu Darsinah ke polres. Bahkan Aryanto melihat ibu Darsinah naik ojek ketika pulang. Namun tak lama setelah itu, ada laporan kecelakaan yang ditangani unit laka lantas. Korbannya perempuan berumur sekitar lima puluh tahun dan lelaki yang diduga tukang ojek. Tubuh korban remuk dilindas truk yang diduga mengalami rem blong.
“Mas Aryanto bilang kalau malam ini ibu nggak pulang, dia minta aku menemuinya besok di rumahnya, mau diantar lihat korban. Aku takut ketemu Mas Aryanto lagi. Dia sudah pernah nyoba bunuh aku pakai obat. Dia juga pasti yang membunuh bapak. Aku yakin ibu nggak pulang juga gara-gara dia.”
Angin pergantian terang menuju gelap terasa menggigit tulang. Dingin yang menggetarkan itu membawa suara-suara yang awalnya tak bisa saya terjemahkan. Ketakutan yang saya lihat dari wajah Triyas perlahan mengubah suara yang tak berbentuk menjadi perkataan nyata.
Triyas, anakku. Sudah dua kali kamu hampir mati hanya karena laki-laki yang tidak punya hati. Dia yang pantas mati kali ini.
Saya tidak mungkin salah mengenali. Itu suara ibu, terus mendengung dan meyakinkan saya pada satu lagi keinginan ibu. Anak perempuanmu besok tidak akan dibayangi kematian lagi, Bu. Itu janji saya.
***
Acara tahlilan malam ketiga di rumah Triyas kembali diselimuti luka yang menganga. Triyas belum berhenti menangis ketika sampai acara selesai ibunya tidak kembali. Saya terus menemaninya, menjadi penyerap tangisnya. Ke mana lagi harus saya sarangkan prasangka selain pada Aryanto?