Rumah Pak Ali tampak suram. Hanya lampu jalan yang jadi penerang. Di dalam pun hanya segaris cahaya yang tampak dari lubang angin-angin kamar. Saya ingat Pak Asan mengatakan Pak Ali dan Bu Ali tadi siang ke rumah sakit karena anaknya sakit. Bisa jadi Bu Ali masih di sana. Ini menguntungkan saya jika memang Pak Ali hanya sendiri di rumah.
Pagar rumah Pak Ali tidak dikunci. Sebagai syarat sopan santun saya mengucap salam dua kali meskipun saya tahu tidak mungkin ada jawaban. Namun ketika saya membuka pagar dan memasukkan motor, suara pintu terdengar terbuka.
“Bapak?” Itu suara Bu Ali yang mungkin mengira saya adalah suaminya.
“Saya Begja, Bu Ali.”
Ketika saya masih menjelaskan maksud kedatangan saya, Bu Ali langsung memotong pembicaraan dan menyuruh saya memasukkan motor saya secepatnya ke belakang. Katanya supaya tidak ada orang yang tahu. Bu Ali langsung menyilakan saya masuk lewat pintu dapur bagian belakang.
“Mas Begja sendiri kan? Ndak ada orang yang nguntit?” tanya Bu Ali sembari berjalan di antara deretan rak piring dan mengambil sesuatu kemudian disembunyikan di dalam pakaiannya.
Pertanyaan itu dan permintaan Pak Ali sebelumnya jelas sudah menumbuhkan prasangka saya.
“Saya ke sini karena disuruh Pak Ali. Memangnya ada apa Bu?”
Bu Ali tampak kebingungan dan bergantian meremas tangan juga daster yang dipakainya.
“Terus bapak ke mana sekarang?”
“Mengantar keluarga ibu Darsinah ke RSUD.”
Ungkapan kelegaan langsung meluncur dari mulut Bu Ali.
Sejujurnya saya agak kurang nyaman dengan kondisi rumah Bu Ali yang minim penerangan meskipun saya datang. Mungkin Bu Ali paham dengan ketidaknyamanan saya sehingga dia menjelaskan alasannya.
“Mas Begja kan tahu sekarang musimnya pembunuhan. Tidak tahu sasarannya siapa. Terus terang saya takut, Mas. Kata bapak biasanya pembunuhnya itu mematikan listrik rumah calon korban dulu. Makanya saya matikan semua lampu kecuali kamar. Biar dikira rumah ini tidak ada penghuninya.”
Setelah Bu Ali membuat pernyataan itu, saya dengar suara batuk panjang disertai muntah yang terasa menyakitkan di telinga.
Seketika saya teringat ucapan Pak Asan. “Katanya putra Bu Ali sedang dirawat di rumah sakit?”
“Sebenarnya itu ... cuma alasan saja. Biar bapak ndak diincar. Tolong Mas Begja, lindungi suami saya.”
Ketika saya tanya apa yang membuat Bu Ali berpikir bahwa suaminya jadi target pembunuhan, dia mengajak saya ke sebuah kamar. Begitu dibuka, bau anyir yang memuakkan membuat saya ingin menjauh saja. Seorang laki-laki tergolek lemah di atas ranjang. Tangan dan kakinya terikat dengan ujung-ujung dipan.
Syafri, putra Bu Ali yang menyebar fitnah tentang ibu sepertinya sedang bertarung melawan maut. Tegel di sekitarnya sudah berlumuran darah, apalagi seprei yang jadi alas tubuhnya, berubah merah pekat.
Sebelum saya bertanya apa yang sedang terjadi, Bu Ali berkata, “Terpaksa saya sama bapak melakukan ini. Dia sudah menjual banyak nyawa ndak bersalah, termasuk anaknya sendiri yang masih bayi.”
“Dijual? Pada siapa?”
“Ndak tahu. Pokoknya Syafri diminta buat nyetor nama yang pantas dibunuh, yang gampang dibenci warga. Tugasnya menghasut warga biar tambah benci dengan calon korban. Jadi kematian korban dianggap pantas.”
Dada saya seketika terasa disulut bara menganga. “Apa tujuannya?”
“Buat dijadikan alasan kisruh politik. Itu kata bapak. Makanya akhir-akhir ini bapak sering diajak pertemuan yang ndak jelas. Bapak ndak tahu kalau akhirnya banyak warganya yang jadi korban.”
“Apa lagi yang Bu Ali tahu?”