Gadis kuliahan bernama Reyka Monalisa yang sangat lugu. Ia mahasiswi semester empat jurusan Public Relation, FISIP. Belum pernah sekali pun mengenal cinta. Parasnya yang cantik dan populer di Kampusnya karena ia cukup pawai bermain basket. Banyak teman seangkatan dan senior yang menyukainya dan berusaha menjadikannya dayita. Namun, Reyka yang pemalu tidak bisa menolak mereka secara terbuka. Ia hanya berlari sebagai ganti dari penolakannya itu. Sikapnya yang unik, pemalu dan introvert membuatnya sulit untuk didekati. Namun, banyak juga yang menganggapnya angkuh dan sok cantik.
Suatu hari ia didekati oleh seorang senior yang bernama Gilang Pratama. Mahasiswa semester akhir jurusan Hubungan Internasional, FISIP. Sebenarnya ia memilih jurusan itu karena ingin berbeda dari pilihan Ayahnya. Bukan memintanya lebih tepatnya mendiktenya untuk mempelajari bisnis managemen guna meneruskan usaha keluarganya nanti. Tak pelak, kesengajaan sikap membelotnya itu justru membuatnya jatuh cinta mempelajari dunia internasional.
Senyuman mematikan seperti Jefri Nichol dengan tubuh tinggi dan berotot membuat Gilang sangat diminati Gadis-gadis kampus. Ia juga sangat bertalenta dalam ilmu beladiri Taekwondo yang sudah digelutinya sejak usia tujuh tahun. Di antara teman-teman satu Klub Taekwondo, ia yang paling populer. Sebagai jawara yang sering menjuarai turnamen tak sedikit perempuan menggilainya dan berharap menjadi kekasihnya. Namun, Gilang hanya berminat dengan satu gadis, yaitu Reyka karena sikapnya yang sulit ditebak.
“Yaelah, saban hari dilihatin doang, tembak dong,” ejek Edo teman sejurusan Gilang. Ia seorang Don Juan yang sering bergonta-ganti Wanita sejak ditinggal nikah sama Diana.
Ejekan itu memancing teman-temannya untuk menertawakannya. Sontak, hati Gilang terasa panas karena sindiran Edo itu. Gilang yang tidak tahan dan merasa keki, beranjak dengan cepat dari bangku. Hendak menyusul Reyka yang melintas menuju ke kamar mandi untuk berganti kostum latihan.
“Reyka, tunggu!” panggil Gilang yang berlari ke arahnya. Reyka terkejut dan merasa agak takut melihat seniornya semakin mendekat.
Gilang yang menyambanginya menyorot wajahnya yang kemayu. Rambutnya yang terkuncir rapi, menyisakan rambut-rambut yang baru tumbuh di sisi luar keningnya. Bahkan, kulitnya yang putih dan bersih, bak permukaan kolam yang jernih tak sanggup dipandangi oleh Gilang lebih lama. Ingin rasanya menyeburkan diri ke dalam sana.
“Kak Gilang kayanya mau ngomong sama Lu, deh. Kita duluan ya,” imbuh Kiki teman yang paling dekat dengan Reyka, sambil memberi kode kepada teman-teman lainnya. Jangan, please. Reyka menggeleng cepat dengan memegangi tangan Kiki agar tidak meninggalkannya. Tangannya dingin seraya merasakan keterasingan karena bakalan ditinggal oleh teman-temannya.
Rautnya mengernyit ada keraguan dan ketakutan karena Kakak seniornya itu berusaha mendekatinya. Sesuatu hal yang belum lama ini baru saja dialaminya. Salah satunya seperti yang akan dilakukan Gilang saat ini, menyatakan perasaan kepadanya. Seperti kejadian yang sudah berulang-ulang dirasakan Reyka dan ia tidak suka dengan situasi seperti itu, menolak perasaan orang lain.
“Reyka, gue mau ngomong, yang lainnya bisa nggak pergi duluan,” pinta Gilang sok berkuasa. Kedua tangannya diselipkan ke dalam kantong celana jeans, setengah berpose. Gilang mati-matian menebarkan seluruh pesona dirinya.
Di Kampus, Gilang memang disegani. Terkadang antara disegani dan ditakuti beda tipis. Gilang yang memiliki sabuk ban hitam dan terkenal dengan pukulan tiga jurusnya yang mematikan lawan, melabelinya sebagai seorang yang dingin dan beringas di lapangan. Makanya Kiki dan teman-teman lainnya tidak berani padanya karena ia terkenal kasar dan sombong.
“Ka-kalau mau ngomong-ngomong aja,” celetuk Reyka memberanikan diri. Meskipun ia gadis yang lugu dan pemalu tetapi ia tidak takut dengan siapa pun.
Gilang terkejut mendengar jawabannya. Wajahnya berubah kaku. Hmm. Gilang berdehem sembari mengeluarkan kedua tangannya, mengubahnya menolak pinggang. Baru kali ini ia merasa pamornya tidak berpengaruh di mata seorang Gadis seperti Reyka. Tatapan miliknya yang lugu dan polos membuat tolakan pinggang itu melerai ke bawah. Ia benar-benar runtuh dibuatnya.
“Gue suka sama lu, gue mau kita pacaran,” jelas Gilang dengan angkuhnya. Ia terkesan sangat percaya diri ketika mengungkapkannya.
Tiba-tiba, Reyka menarik tangan Kiki dan meninggalkan Gilang tanpa jawaban dari pernyataan perasaannya. Bukannya menjawab pernyataan rasa suka itu, ia justru meninggalkannya di sana mematung. Bahkan, Reyka tidak menoleh sekalipun ke belakang dan mempercepat langkahnya. Kebalikannya, justru Kiki yang menoleh ke belakang dengan perasaan sangat takut jika Gilang akan mengamuk. Namun, Gilang justru melongo dibuatnya, baru kali ini, ia diperlakukan remeh seperti itu.
Sialan!
Hatinya gusar, tega sekali Reyka melakukan itu. Kakinya sambil menendang aspal yang tak bersalah.
Hahaha!
Teman-temannya menertawakan.
Dari depan sekretariat Klub Taekwondo, Edo dan teman-temannya menyambut Gilang dengan tawa terbahak-bahak akibat penolakan itu. Selama ini Cowok-cowok yang ditolak Reyka sama persis seperti yang dialami Gilang barusan. Reyka meninggalkan begitu saja tanpa jawaban, ya atau tidak. Benar-benar angkuh. Apa susahnya menjawab dua kata itu. Bukan malah ditinggal menggantung. Apakah Reyka mungkin memang tipe Wanita seperti itu, yang senang mempermainkan perasaan Cowok.
“Udah nyerah aja, nyerah, bhuahaha,” kelakar Rian dan teman lainnya sembari menepuk-nepuk bahu Gilang. Ia tidak senang dengan ejekan itu dan menyingkirkan tangan yang mendarat di bahunya.
Gilang benar-benar kesal ditambah dengan cemoohan teman-temannya yang tak memedulikan perasaannya yang patah berserakan. Mungkin tak akan sempat memunguti dan menyambung retakan hatinya itu. Di tengah-tengah suara tawa yang menggelegar akibat ulahnya sendiri, penolakan itu menjadi cerita humor ter-epik sepanjang sejarah percintaan Gilang. Dengan perasaan gusar, ia mendaratkan bokongnya dengan kasar di atas bangku. Tangannya yang berada di atas meja dikepalkan erat seperti ingin meninju sesuatu atau seseorang.
“Sialan, sok cakep banget sih!” gerutu Gilang sembari membuang kerikil ke sembarang arah yang ditemukannya di bawah. Hampir saja mengenai seseorang yang baru turun dari sekretariat Klub Fotografi di atas. Beruntungnya orang itu berhasil mengelak dari lemparan bola api Gilang.
“Emang, cakep. Kalau nggak cakep mana mau elu. Ngaku deh, elu kan ngincer dari awal Reyka masuk Kampus ini, ya'kan?” timpal Edo. Gilang malas membahasnya, jika Reyka menerimanya lain persoalan. Hatinya akan berbunga-bunga dan senang saja menceritakan masa-masa itu.
Rasanya ingin membungkam mulut Edo yang terus menyerocos. Ia senang sekali melihat penderitaan temannya itu. Namun, kegusaran itu akhirnya dirasakan juga oleh Ryan dan Fajar. Melihat kegusaran Gilang yang membesar, teman-temannya berpamitan dengan alasan ada kelas. Padahal, mereka menghindari bulan-bulanan yang akan ditimpakan kepada mereka sebagai sasaran empuk kemarahannya. Hanya Edo yang berani menemani Gilang di saat-saat seperti ini. Tidak ada yang tahan dengan sikap temperamental Gilang selain dirinya.
Deerrt-Deerrt!
Terasa getar panggilan dari nama kontak yang tak asing, Diana. Edo hanya melihatnya, tak menggubrisnya dan membiarkannya berdering hingga mati. Gilang menarik garis syaraf di dahi seakan merasa heran dengan sikap temannya itu. Ternyata, Diana masih saja menghubunginya, bukankah ia sudah memutuskannya dan berada di Kalimantan sekarang.
“Diana masih telepon, elu?” celetuk Gilang dengan wajah penasaran. Edo tak menjawabnya persis seperti panggilan itu.