Sulit sekali bersaing dengan Orang tua sendiri, ingin sekali melawannya. Bahkan, jika bisa memilih aku ingin dilahirkan dari Papa yang biasa saja supaya tak perlu melawannya. Gilang
***
Pulang dari tempat itu Gilang tak merasakan perubahan apa-apa, ia sangat yakin jikalau Dukun Sakti yang dikenalkan Edo hanya seorang penipu atau dukun abal-abal. Sesampainya di rumah sudah cukup malam, ia merasa letih dan ingin segera beristirahat di kamarnya di lantai dua. Mamanya yang baru saja hendak pergi ke kamar tidur sempat melihat Gilang menaiki tangga.
“Gilang, tumben kamu pulang?” tanya Mama dari depan kamar tidurnya di lantai bawah. Hmm, Gilang hanya berdehem menjawab pertanyaan Ibunya.
Orang tua Gilang terbilang kaya raya karena memiliki beberapa dealer mobil mewah di beberapa kota besar di Indonesia. Jika Gilang mau bisa saja ke Kampus menggunakan BMW menganggur yang terparkir di garasi rumahnya itu. Hanya saja Gilang tidak terlalu suka memamerkan kekayaan Papanya, meskipun ia sudah cukup terkenal dengan keangkuhannya di Kampus. Mungkin jika nanti ia lebih sukses dari Papanya, ia akan berlaku sama. Suka memamerkan hartanya, karena pemikiran itu bisa berubah tergantung posisi saat ini. Berada di bawah atau di atas.
Gilang lebih menyukai mobil sedan produksi negara Jepang berwarna hijau untuk digunakannya kuliah. Sebab, kendaraan jenis itu sudah banyak yang memakainya di Kampus. Malam ini sepertinya ada yang salah dengannya, ia tidak pulang ke indekosannya yang lebih dekat dengan Kampus dan justru pulang ke rumah Orang tuanya. Sejak ngekos kehidupan Gilang berubah lebih mandiri, meskipun ia masih saja disokong penuh oleh Papanya. Namun, ia berusaha untuk mensejajarkan diri dan tidak begitu mencolok di antara teman-temannya.
Tuas pintu kamar dari ukiran kayu jati asli yang dibuatkan khusus dari Pengrajin terkenal di Jepara. Suara pintu mahal sangat halus, tidak terdengar suara kuncian yang terbuka oleh Gilang. Setelah empat tahun berlalu, suasana di kamarnya tetap terlihat sama seperti saat ia memutuskan untuk tinggal di kosan sejak awal kuliah. Kamar mewah yang luas, modern dan sangat nyaman, membuat siapapun akan betah berlama-lama.
Namun setelah hampir empat tahun berada di dalam kamar indekos yang hanya berukuran lebih kecil dari kamar mandinya itu, semuanya terasa sangat berlebihan. Demi sebuah ranjang empuk, Gilang harus melangkah lima belas kaki baru sampai. Padahal, tubuhnya sudah sangat lelah dan sudah merindukan kamar indekosannya yang lebih kecil. Jika pintu dibukanya, ia bisa langsung melompat ke ranjangnya. Tak perlu bersusah payah seperti saat ini, berjalan jauh hanya untuk pergi tidur.
Sebuah keberhasilan mendaratkan tubuhnya duduk di bibir ranjang, melepas jaketnya dan menggeletakkannya begitu saja. Tak perlu lagi memperhatikan estetika kamar mewah yang memiliki kelengkapan yang bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Seperti tiang berkaki dari kayu jati asli sebagai pengait untuk jaket, jas, mantel, syal dan topi-topinya yang dekat dengan pintu masuk. Gilang sudah melupakan caranya hidup selama delapan belas tahun yang lalu.
Tubuhnya dibaringkan dan mulai menarik selimut untuk menutupinya yang mulai merasakan kedinginan karena pendingin ruangan. Tak butuh waktu lama untuk mengurai lelahnya menjadi mimpi. Dalam sekejap, Gilang sudah terlelap pulas.
***
Sementara itu, di kamar Reyka yang temaram. Tiba-tiba ia terbangun di tengah malam karena merasa gelisah. Perasaannya tak tenang dan selalu terbayang-bayang wajah seseorang yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya. Reyka berusaha untuk meraih segelas air putih di nakas samping ranjang. Di kejauhan, seseorang sedang bekerja di dalam gulitanya malam. Merapal mantra dengan jampi-jampi cinta. Menerbangkannya melalui bantuan udara, menembus celah-celah ringkih yang bisa dimasuki. Hati yang penuh ragu, gelisah dan kosong.
Meneguk air dari segelas air murni hingga melegakan kerongkongannya yang terasa kering. Namun, kegundahan itu tak kunjung menghilang. Ia merasa sesuatu mengusiknya, ada kegusaran yang tak bisa diungkapkannya. Perasaan resah, rindu dan membuat kebingungan itu melandanya terus menerus. Hingga tak bisa kembali tidur. Belum pernah, ia merasakan kegundahan seperti ini, apa dan mengapa. Menjelaskan saja rasanya sulit untuk digambarkan, sesuatu sedang mengendalikannya. Merasakan sesuatu yang bukan seharusnya.
Segelas air mineral itu dikembalikan ke asalnya, di mana ia mengambilnya. Tak sengaja, jemarinya menyenggol susunan komik dan buku-buku favoritnya yang tak biasa. Tentang makhluk luar angkasa dan deretan cerita teori konspirasi.
Bluk!
Astaga!
Ada apa denganku? Gerutu Reyka yang terkejut sambil memunguti buku yang berjatuhan. Meletakkan kembali dengan menumpuknya ke atas. Udara semakin pekat, keringat dingin mulai mengucur memenuhi pelipis. Bola matanya memeriksa pendingin udara yang menyala, tetapi mengapa kamarnya terasa panas. Suasananya pun berbeda, ia merasa asing di kamarnya sendiri.
Reyka menekankan lima jemarinya di atas dadanya, ia merasa ada yang salah di dalam sana (hatinya).
Ada apa yah? Kok aku inget dia?
Kenapa sih, kok rasanya aneh begini.
Sepanjang malam, Reyka tiada henti memikirkan Gilang. Wajahnya selalu menghiasi pikirannya seperti seseorang yang baru saja merasa jatuh cinta. Beberapa kali Reyka berusaha berbaring untuk melupakannya, memejamkan mata, menutupi kepalanya dengan bantal dan bersembunyi di dalam selimut. Namun, semakin dilawan, semakin kuat saja perasaan itu. Reyka semakin uring-uringan dan tidak sabar menunggu mentari bersinar.
Sejak semalam, kedua matanya terus terbuka. Ia tak dapat menutup mata tanpa bayangan Gilang ada di dekatnya. Gambaran itu terasa sangat nyata ketika memejam. Reyka tersiksa semalaman suntuk sembari menggigiti kukunya sampai memendek hingga melampaui batas. Daging dalam kukunya ikut tergigit hingga berdarah. Namun, ia tak merasa terganggu sedikit pun.
Chandra berganti mentari di ufuk timur, sinarnya mulai membias di angkasa menembus awan subuh. Langit-langit dan dinding-dinding kamar yang dingin mengelilinginya seakan memantulkan kehangatan mengusir kelembaban malam. Terdengar suara kicauan burung yang bertengger di pipa pralon di teras kamarnya yang terhubung dengan taman belakang. Suara yang membuatnya ingin segera bangkit.
Nyanyian merdu burung-burung memanggilnya untuk bangun. Reyka menyingkap selimutnya seperti mayat hidup. Wajahnya tak berseri seperti biasanya, pikirannya penuh dengan bayangan Gilang yang membuatnya hampir gila. Kantong mata berwarna hitam membentuk setengah lingkaran tepat di bawah kelopaknya. Perasaan itu membuat Reyka ingin berteriak sekuat tenaga. Ia merasa sangat frustrasi karena tak tahan lagi menahan kerinduan.