Mantra Pikat

Adine Indriani
Chapter #4

#Mantra Itu Bekerja

Aku tidak bisa mengeluarkannya dari pikiran. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, mungkin aku sudah gila, atau seseorang sudah membuatku gila. Apa yang harus kulakukan, agar kegilaan ini berhenti. Reyka.

***

Door!

Sorry, gue ngagetin elu, ya?” ucap Edo yang melihat Reyka di depan gedung indoor. Reyka terlihat bingung sendirian, seperti seseorang yang tersesat. Kedua tangannya bertautan, seraya menyembunyikan kebingungan itu di dalam hatinya. 

“Cari siapa, Rey?” tambah Edo lagi. Reyka sejak tadi terlihat gusar.

“Ah-ah, nggak kok, nggak cari siapa-siapa,” kelit Reyka berbohong. Padahal, sejak tadi matanya terus mencari. Memutar tiga ratus enam puluh derajat ke sekeliling area yang bisa dilihatnya. Setiap orang yang datang dan masuk melalui pintu-pintu tidak lepas dari pengawasannya.

“Biar gue tebak, elu pasti cari gue, 'kan?” seloroh Edo cengengesan. Berusaha mencairkan suasana dan membuat Reyka lebih tenang. Namun, reaksinya tetap saja kaku dan justru membuat wajahnya terlihat konyol.

Hah?

Reyka melongok.

“Bercanda, pasti elu cari, Gilang, 'kan?” tebak Edo yang sudah tahu jawabannya dari awal. Ia hanya sedang menikmati wajah Reyka yang terlihat kebingungan seperti orang tolol.

Hehehe!

Edo terkekeh dalam hati.

“Kok, tahu?” ungkap Reyka spontan.

“Tahu dong, siapa lagi yang dicari Cewek-cewek ke tempat latihan paling pojok ini kalau bukan Si Gilang,” papar Edo mengungkapkan sedikit kecemburuan. Namun, itu faktanya, bukan cuma sekali atau dua kali, tapi sering sekali Cewek-cewek kampus ke situ hanya untuk melihat Gilang latihan.

Jadi, kalau Gilang sampai sekarang masih jomlo. Bukan karena tidak laku. Namun, karena seleranya terlalu tinggi dan ia cukup sulit ditaklukkan. Hanya Reyka yang bisa membuatnya berdebar selama hampir empat tahun ini. Menurut Edo, sebagai Cowok Populer, Gilang termasuk naif dan sok idealis. Seharusnya ia sudah memacari beberapa Wanita yang tidak kalah cantik di Kampus ini. 

Kalau gue jadi Gilang, udah gue embat satu-satu tuh, Cewek-cewek.

Gumam Edo meracau sendirian merasa jengkel.

“Jadi, Kak Gilang ke mana?” tanya Reyka yang tidak menggubris racauan Edo yang aneh.

“Telat bangun kali tuh anak,” balas Edo singkat.

“Ya-yauda, Kak. Nanti aku balik lagi,” jelas Reyka kecewa. Sambil lalu hendak meninggalkan Edo tanpa pesan dan kesan.

“Eh, tunggu minta nomornya, ntar gue kasih ke Gilang,” cegah Edo.

Reyka tidak bimbang sama sekali memberikan nomor itu ke Edo karena ia sudah sangat putus asa dan ingin segera bertemu dengan Gilang. Lagipula, Edo teman seangkatan dan satu klub yang paling dekat dengannya. Jika ingin tahu tentang Gilang, tentu saja Edo yang paling tahu. Sambil menunggu Reyka memberikan catatan nomor teleponnya, mata keranjang itu masih saja asyik memperhatikan kecantikan dan kepolosan Reyka yang aduhai.

***

Sejak saat itu, kamu itu seperti Long March yang kurencanakan dalam satu tahun, berpikir keras bagaimana caranya untuk menaklukkan perempuan sepertimu. Meskipun hanya membayangkannya saja, seluruh hidupku seakan terjadi Reformasi di segala bidang. Gilang.

Baru saja kendaraan Gilang memarkir di samping gedung latihan, bersamaan dengan Reyka yang baru saja meninggalkan gedung. Keduanya tak bertemu, sangat berbeda dengan adegan di filem Serendipity yang selalu membuat aktor John Cusack dan Kate Beckinsale itu bertemu secara kebetulan seperti sudah digariskan berjodoh. Mungkin karena hal yang begitu hanya terjadi dalam filem, berbeda dengan kisah nyata. Tidak ada yang namanya kebetulan.

Gilang membuka bagasinya hendak mengambil kostum latihannya dengan sabuk hitam. Ia menutup bagasinya cukup keras dengan wajah mengerut, otot-otot rahangnya terlihat mengeras dikarenakan masih memikirkan kata-kata Papanya. Cukup membuatnya menyeringai kecut ketika mengingat-ingat lagi, mengulang-ulang lagi perkataan yang terlontar menyakitkan itu.

Seusiamu, Papa sudah menghasilkan banyak uang.

Bukannya langsung ke tempat latihan, Gilang ingin membeli es kopi di Kantin untuk menyegarkan pikirannya. Tas berat yang berisi seluruh perlengkapan disampirkan ke salah satu bahu, dengan tatapan ke aspal di depannya. Pagi yang cukup berat untuk memulai hari. Rasanya, ia tak akan sanggup melewati hari ini. Mungkin, memilih pulang ke rumah Mama adalah yang paling disesalinya.

Tiba-tiba, langkahnya melambat ketika telinganya mendengar seseorang bersuara lantang memekik dari lorong gang menuju tangga ke lantai dua. Dari sudut ekor matanya, ia bisa melihat seorang Cowok berhasil membuat Cewek yang terhalang pandangan oleh besi pegangan tangga, tersudut. Langkahnya terhenti ketika suara Laki-laki itu seperti mengancam lawan bicaranya. Sepintas, ia teringat dengan kejadian kemarin antara dirinya dan Reyka.

“Jawab dong! Jangan pergi gitu aja!” pekik Cowok bertopi Nike berwarna merah memakai jaket hitam dengan resleting terbuka. Cewek itu terpojok dengan lengkingan suara yang terdengar memaksanya.

“Eh, lu punya perasaan nggak sih. Gampang kan, kalau nggak suka tinggal jawab, ya atau nggak. Jangan digantung kaya gini!” tekan Cowok itu semakin menyudutkannya. Sedangkan Cewek itu hanya bisa berdiri mematung, lirikannya berusaha mencari seseorang untuk menolongnya.

“Ma-maaf, Kak. Maaf,” tutur suara Cewek itu bergetar.

“Maaf-maaf, sok kecantikan loh!” gusar Cowok itu semakin memojokkannya.

“Eh, elu Dani kan, angkatan ‘2013! Apa-apaan lu!” sergah Gilang tiba di tempat kejadian. Dani yang sedang menyudutkan Reyka melangkah mundur setelah dikejutkan oleh kedatangan Gilang secara tiba-tiba.

Lihat selengkapnya