Ketika dua insan berjalan parsial, tetapi keduanya ke arah yang berlawanan dari yang semestinya. Ketika Gilang merasakan kemajuan dalam kehidupannya seraya semesta mendukung. Namun, berbanding terbalik dengan kehidupan Reyka yang mengalami kemunduran. Saat itulah garis keduanya saling bersinggungan.
***
Tiba-tiba semuanya terasa indah, ada dorongan adrenalin setiap hari untuk memulai hari. Mengukir nama seseorang di relung hati, dampaknya sangat besar bagi kehidupan. Siapa sangka, tercatat sebagai kekasih seseorang bisa menciptakan energi besar yang menyerap kepositifan.
Jika ini rasanya jatuh cinta, seharusnya sudah dilakukan sejak dulu. Melangkah terasa ringan, seolah-olah memiliki sayap tambahan untuk melayang. Tubuh ini penuh dengan tenaga ekstra plus senyuman, tak merasa lelah. Apa ini? Narkoba jenis baru.
Ya. Rindu menyebabkan candu, ingin bertemu lebih dekat setiap waktu. Cinta ini kian besar dan membesar membentuk gulungan salju yang bergulir, menyapu buliran menyatu, tak terbendung lagi. Ada perasaan takut jika suatu hari tak sama lagi, bisakah rasa ini menetap selamanya? Perasaan ini berkata jika kelak semuanya akan hancur, meratakan seluruh ruang-ruang di lereng gunung, lebur.
Tak pelak terus menepis kekhawatiran itu dan menyakinkan hati bahwa itu tak akan terjadi. Namun, pemikiran itu sudah telanjur terpatri, membisiki setiap kekosongan angan-angan ketidakpastian. Semua logika menepisnya mentah-mentah, tetapi ketakutan itu tetap ada. Tuhan, jangan bisakah aku dan dia.
Semenjak hari itu mereka resmi berpacaran, keduanya sering terlihat berada di Kampus mengumbar kemesraaan. Ke mana-mana bergandengan tangan, selalu tersenyum dan tertawa. Selalu bersama dari pagi hingga petang, ada dan tidak adanya kelas, mengisi waktu dengan mengobrol dan bercanda serasa Kampus milik mereka saja.
Cowok-cowok yang pernah naksir Reyka menjadi barisan sakit hati yang harus mengikhlaskan Reyka menjadi milik Gilang. Kendatipun, sangat membuat cemburu melihat Gilang berhasil menaklukkannya. Namun, dalam hati kecil mereka merasa senang karena keduanya terlihat cocok bersama. Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Gilang saat itu bisa menjadi kekasih Reyka.
Seuntai senyuman selalu menempel di wajahnya. Hari-hari biasa kini berubah menjadi spesial jika bersama dengan Reyka. Namun, perubahan baik itu berbanding terbalik dengan situasi Reyka. Di saat, Gilang sangat gemilang di kuliah dan juga Taekwondonya, tidak dengan Reyka. Ia justru mengalami kemunduran pesat semenjak menjalin kasih dengan Gilang.
Reyka tidak bisa berkonsentrasi di kelas, latihan basket pun sering kehilangan bola. Sentuhan tembakan tiga angkanya yang semula tidak pernah meleset, sekarang sering terbuang percuma. Ia juga sering melupakan posisi Shooting Guard di mana seharusnya berada. Seharusnya, ia menjadi pemain depan yang selalu siap dalam pertahanan dan penyerangan. Beberapa kali, Reyka membiarkan lawan melewatinya dengan mudah dan timnya menjadi kalah.
Beberapa kali Reyka sudah diperingati, tetapi nasehat itu masuk kuping kiri keluar dari kuping kanan. Teriakkan hingga amukkan Pelatih kepada Reyka seperti tidak didengarnya. Pelatih dan juga teman-temannya merasakan keanehan dan perubahan pada diri Reyka. Sebelumnya ia begitu tenang dan fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya. Dan sekarang, Reyka selalu terburu-buru dan selalu ingin menyudahinya lebih cepat.
Di dalam pikirannya hanya ingin bersama dengan Gilang.
“Aku balik duluan yah,” pamit Reyka terburu-buru mengambil tasnya. Kiki dan teman-temannya sudah tahu jika Gilang sudah menunggunya di parkiran.
“Heran deh, Reyka berubah yah semenjak jadian sama Gilang,” keluh Kiki merasa kehilangan sahabatnya itu.
“Biasa, orang jatuh cinta tuh kaya begitu,” timpal Fanny sembari melepaskan tali sepatunya.
“Tapi, masa segitunya sih. Di kelas aja, Reyka sering bengong. Udah gitu kaya resah-resah gimana gitu. Bingung gue jelasinnya, kaya bukan Reyka,” papar Kiki menggambarkan keanehan Reyka yang dilihatnya.
“Iya yah, beda banget Reyka yang dulu sama sekarang,” tambah Fanny sambil mengibaskan kaos kaki yang terlepas dari jemari kakinya. Sontak, Kiki menutup hidung, kebauan.
“Bau kali, jorok loh!” sergah Kiki menjauh. Fanny semakin gencar mengibas-ngibas kaos kakinya yang kotor itu, menggoda Kiki sampai mual.
Ketika semuanya merasakan perubahan yang terjadi pada diri Reyka. Sebagai teman baiknya, Kiki semakin khawatir. Ia merasa perubahan itu tidak baik untuk Reyka. Dan ia perlu mengatakan sudut pandangnya secara langsung kepadanya. Bukankah teman yang baik itu adalah orang yang selalu bisa melihat perubahan dan memberikan nasehat agar tak berkelanjutan semakin memburuk. Ia tak ingin jika perubahan sikapnya itu akan memengaruhi nilai dan beasiswa basketnya.
Setelah berpikir panjang, Kiki memutuskan untuk mengajak Reyka ketemuan di kantin besok. Berhubung sebentar lagi ada turnamen terbuka di Universitas Gama. Sudah dipastikan jika lawan terberat mereka dari Universitas UNJ (Universitas Nasional Jakarta) akan ikut lagi, sudah lama menjadi musuh bebuyutan yang sering menjadi rival di babak final. Tahun lalu, Universitas Mercusuar, berhasil mengalahkan UNJ dengan skor tipis baik tim Putera maupun Puteri. Tentu saja, tahun ini harus mempertahankan kejuaraan di turnamen yang sama.
***
Malam itu Kiki dan teman-temannya masih duduk-duduk di depan lapangan, pandangannya fokus ke layar radiasi mini yang disebut gawai. Hatinya merasa ragu, bagaimana caranya mengajak ketemuan Reyka besok. Sebenarnya bukan untuk bertemunya, tetapi bagaimana jikalau Reyka merasa tersinggung. Meskipun, ia mengkhawatirkan teman baiknya itu, tetapi segala perbuatan baik belum tentu diterima dengan baik. Ia tak ingin persahabatannya dengan Reyka menjadi buruk.
Setelah berpikir panjang, meskipun bolak-balik menghapus pesan. Masih mencari tatanan kata dan bahasa yang pas, akhirnya Kiki menemukan juga padanan yang tepat untuk diunggah. Ia memutuskan pesan itu singkat dan padat tak perlu panjang lebar menjelaskan. Ia mengirim pesan kepada Reyka untuk janjian datang lebih pagi sebelum kelas dimulai.
[Rey, besok datang pagian dong. Aku traktir,] ajak Kiki.
[Serius? Ultah kamu kan masih lama?] jawab Reyka heran.
[Semenjak kamu sama Gilang, kita jadi jarang ngobrol,] ungkap Kiki.
[Oh, begitu yah, he he. Sorry deh. Ok besok aku aja yang traktir.” Reyka.
[Asyik.] Kiki.
Setelah membaca pesan dari Reyka, hati Kiki merasa lega dan cukup senang karena ternyata ia belum dilupakan sahabatnya itu. Tadinya ia begitu khawatir jika Reyka akan marah atau kesal karena kejujurannya. Namun, Reyka menyambutnya dengan baik dan ia merasa ada harapan besok Reyka akan menerima sarannya juga.
Kiki dan teman-teman satu klub-nya tidak melewatkan makan somay di depan kampus dulu. Warung Bang Acim sangat lengkap menunya dan yang paling favorit untuk anak-anak basket adalah telur setengah matang. Biasanya sebelum latihan fisik atau bertanding, mereka akan ke sana dan memesan menu itu untuk menambah stamina.
Sementara itu, Reyka baru saja keluar dari mobil Gilang yang berhenti untuk makan dulu sebelum diantar pulang. Gilang mengajak Reyka ke warung ayam bakar favorit anak-anak Taekwondo. Letaknya tidak jauh dari Kampus. Baru pertama kali Gilang mengajaknya ke tempat itu. Ia tidak tahu jika sudah banyak teman-teman satu klubnya yang sedang makan di sana.
Gilang melihat Reyka yang masih mengetik di layar gawainya, senyum-senyum sendiri. Ia pun merasa penasaran apa yang sudah membuat kekasihnya itu mesem-mesem. Ia bermaksud menegurnya dan bersikap seperti kekasih yang cemburuan. Ia ingin tahu reaksi Reyka seperti apa. Apa Reyka suka sama Cowok yang cemburuan atau nggak yah?
“Nge-chat siapa? Gue jadi curiga, jangan-jangan, Cowok?” sindir Gilang memasang wajah serius, padahal dalam hatinya bergurau. Mulutnya mencembik terkesan sungut menggambarkan hati yang cemburu. Reyka melihatnya heran karena baru pertama melihat ekspresi seperti itu dari Gilang.