Mantra Pikat

Adine Indriani
Chapter #7

#Batalkan Mantra

Penyesalan selalu datang belakangan.

***

Melihatnya seperti itu, ia berlari pergi meninggalkan kantin, ke tempat parkiran keluar dari Kampus, tak tahan lagi menahan perasaan yang bercampur aduk. Pergolakan batin antara kemarahan, kekecewaan dan penyesalan yang mungkin tidak akan bisa diperbaikinya. Dengan membawa kebingungan besar, ia hanya bisa mengingat satu nama, menemui seseorang yang masih berada di indekos.

Tok-Tok-Tok-Tok-Tok!

“Siapa sih, maksa banget. Bentar-bentar gue buka,” bentak Edo yang terbangun dalam kondisi kaget mendengar suara ketukan keras di depan pintu indekosnya. Akibat gedoran pintu yang tak berhenti sejak beberapa menit lalu, kepala Edo terasa berputar. Ruhnya belum genap. Pandangannya berbayang sampai ia harus memejamkan mata sambil memegang kepalanya yang tak berhenti berputar.

Suara ketukan itu semakin kencang yang memaksa Edo beranjak dari peraduannya yang hangat.

Tok-Tok-Tok!

“Iya-iya bentar, nggak sabaran amat sih. Nih, gue pake celana dulu, yaelah!” tukas Edo kesal. Ia memutar kuncian dan membuka tuas itu, didapatinya Gilang yang terlihat sangat gusar. Wajahnya merah padam seperti seseorang yang sedang menahan amarah atau ingin buang air besar, beda tipis.

Gilang menerobos setelah pintu terbuka, dalam keadaan panik, seperti orang kebingungan, orang linglung dan kalut bersamaan. Ia bolak-balik di depan ranjang dan almari yang hanya menyisakan jalan sempit untuk satu orang. Edo yang masih kantuk, memincingkan mata disebabkan secercah sinar yang masuk dari celah pintu membuatnya silau. Sambil menolak pinggang dan menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak berpikir banyak dengan kelakukan temannya itu, tebakan mudahnya, paling bertengkar dengan Reyka.

Jika Gilang mau ia bisa berjalan sampai ke kamar mandi yang berada di pojokan. Ia terus saja memegangi kepalanya yang terasa berat. Aksi bingungnya itu sangat mengganggu Edo.

“Kenapa sih, lu? Pagi-pagi gangguin orang tidur? Berantem sama Reyka? Perasaan semalam mesra?” sentak Edo lagi. Ia semakin bingung melihat Gilang mondar-mandir tidak keruan.

Edo yang masih memincing sipit matanya baru setengah ruh yang kembali ke jasadnya, tertahan di depan pintu. Menggaruk-garuk lengannya sambil menguap dan menutup pintu setelah ruh ke sembilan menggenapinya.

Gilang!

“Lu kenapa? Tenang, Lang, tenang,” sergah Edo memegangi bahu Gilang. Ia menahannya dengan kuat agar Gilang berhenti.

“Reyka, Do. Reyka,” rintih Gilang. 

Melihat Gilang merintih, Edo menjadi khawatir jika sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang buruk terjadi dengan Reyka. Edo berusaha untuk menenangkan Gilang dengan cara memintanya duduk, selagi ia mengambilkan minum. Meskipun Gilang sudah duduk, tetapi kaki-kakinya tak bisa berhenti mengetik. Keringat mengucur deras menandakan kecemasan tinggi. Terkesiap Edo sampai berceceran di lantai ketika mengambilkan air mineral dari mesin dispenser ke dalam gelas untuk menenangkan temannya itu.

“Tenang, lu minum dulu deh,” saran Edo sambil memberikan segelas air.

Gilang meminumnya sedikit, memang terjadi sedikit perubahan yang kentara. Gilang terlihat lebih tenang dan bisa mengatur napasnya dalam-dalam. Edo menatap jelas ke arah Gilang, ia ingin tahu cerita di balik serangan fajar di kamar indekosnya yang telah membangunkannya ketika jadwal kuliah baru ada pukul sepuluh.

“Jadi, kenapa Reyka?” tanya Edo.

“Gw lihat, dia nangis, Do. Gw denger semuanya kalau mantra itu buat Reyka menderita. Dan gw, Do. Gw orangnya yang udah bikin dia kaya gitu.” Gilang merasa bersalah, sedangkan Edo masih buntu. Ia tak bisa menemukan pemikiran apapun di dalam kepalanya. Apalagi memikirkan jalan keluarnya. Kosong.

“Do, antar gw ke Dukun itu, gue pingin cabut aja mantranya. Do, lu denger nggak sih?!” sergah Gilang tidak sabar.

“Iya, gw denger. Gw lagi mikir, bisa nggak mantra itu dicabut. Gw sendiri belum pernah,” timpal Edo yang ikut bingung.

“Gw nggak mau tahu, antar gw ke sana, titik,” ancam Gilang penuh kemarahan.

“Iya, gw antar. Tapi, lu yakin mau cabut mantranya. Lu kan cinta banget sama Reyka, Lang,” tanya Edo memastikan. Gilang menggeleng, mulutnya bergetar.

“Nggak, Do. Buat apa perasaan gw kalau cuma nyakitin dia. Gw pingin, dia balik lagi kaya Reyka yang dulu.” Gilang menunduk penuh penyesalan, kedua tangannya bertautan penuh keringat. Edo memberinya tepukan di bahu agar ia lebih tenang, seakan mendukung penuh keputusan temannya itu.

Tak memerlukan pemikiran panjang, Edo berganti pakaian yang cukup pantas untuk keluar. Ia tak ingin membuat Gilang lebih cemas dari sebelumnya. Edo pun ikut merasa bertanggungjawab karena memperkenalkan Pakde Mulki kepada Gilang hingga menyebabkan semua ini terjadi. Mereka pun tak ingin menyia-yiakan waktu percuma dan langsung berangkat menuju perkampungan Pakde Mul.

Edo sengaja menawarkan dirinya untuk mengemudikan kendaraan Gilang. Melihat temannya itu sedang tidak baik-baik saja membuatnya khawatir jika saat ini, Gilang dalam kondisi tak layak untuk memegang kendali. Sesekali Edo menoleh ke arah Gilang, pandangannya yang menatap ke jalanan seperti tidak sabar ingin segera sampai. Perjalanan itu tidak terlalu jauh, sekitar satu jam sampai, tetapi banyak yang bertujuan ke sana tak pernah sampai.

Entahlah. Apa yang membuat Edo bisa bolak-balik ke tempat itu. Padahal, tak jarang orang-orang yang bermunajat seperti Edo, tak pernah menemukan rumah reot dukun sakti itu. Ketika kendaraannya sampai di depan perkampungan, mobil itu tak bisa melewati jalan yang hanya cukup satu mobil saja. Ada alat pembajak sawah yang ditinggalkan Petani di tengah jalan. Memang jalanan itu tidak diperuntukkan mobil lalu lalang, hanya untuk keperluan pertanian.

Terpaksa, keduanya harus turun dan berjalan lebih jauh masuk ke dalam. Melewati rumah-rumah Pak Tani, sawah-sawah dan lumbung padi. Untuk pertama kalinya mereka harus berjalan cukup jauh ke rumah Pakde Mul. Dan, untuk pertama kalinya jalanan begitu gembur berlumpur, sawah-sawah menguning, di sisi kanan dan kiri penuh Pak Tani yang sedang memanen padi masak. Semuanya menoleh ke arah Gilang dan Edo dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Memandangi mereka sangat lama meskipun langkah itu sudah meninggalkan, tetapi pasang-pasang mata itu tetap awas menelanjangi. 

Ada perasaan yang tak nyaman mulai merayapi semenjak tatapan yang tak putus itu menggerayangi. Bulu kuduk mulai berdiri disertai terketuknya nurani, padahal sebelumnya tak merasakan hal semacam ini. Bukan karena mereka tidak diterima di sana, tetapi dikarenakan niatan mereka yang sedikit banyak diketahui oleh warga untuk menemui seseorang yang dianggap sakti di daerah itu.

Lihat selengkapnya